Revival Of Islamic Faith Foundation
News Update :

Kajian

Bantahan

Fiqih

Susan Carland, Menemukan Kelembutan dalam Islam

6 Oktober 2012



Susan Carland, Menemukan Kelembutan dalam Islam


Tahun 2004 lalu, mungkin menjadi tahun yang paling berkesan bagi seorang Susan Carland.
Betapa tidak, wanita kelahiran Melbourne, Australia, ini terpilih sebagai Tokoh Muslim Australia (Australian Muslim of the Year) 2004.

Sejak saat itu, sosoknya dikenal luas di seluruh penjuru Negeri Kangguru, bahkan hingga ke negeri tetangga.
Kendati pernah dinobatkan sebagai Tokoh Muslim Australia berpengaruh, sejatinya Susan bukan berasal dari keluarga Muslim. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk Kristen yang taat. Ia sendiri baru mengenal Islam pada usia yang baru menginjak 19 tahun.

Orang tuanya bercerai ketika Susan berusia tujuh tahun. Ia kemudian memilih untuk tinggal bersama ibunya, yang dianggapnya sebagai sosok wanita yang gigih, penyayang, dan orang yang paling banyak memengaruhi perjalanan kehidupannya.

Sebagai pemeluk Kristen yang taat, sang ibu pun mengharuskan anak gadisnya itu untuk aktif dalam kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu.

Namun, ketika menginjak usia 12 tahun, ia memutuskan tidak lagi menghadiri kegiatan gereja dan mengikuti sekolah Minggu. “Saat itu, saya beralasan bahwa saya tetap percaya kepada Tuhan meskipun tidak ke gereja,” kata Susan.
Namun, keinginan yang kuat untuk mengenal Tuhan lebih jauh pada akhirnya mendorong Susan untuk ikut aktif lagi di kegiatan gereja. Ia kemudian memutuskan bergabung dengan sebuah komunitas gereja yang menurutnya terbilang lebih toleran dibandingkan yang sebelumnya pernah ia masuki.
Walaupun aktif dalam kegiatan gereja, diakui Susan, dirinya tetap bisa melalui masa remajanya seperti kebanyakan gadis seusianya. Pada waktu senggang, ia mengikuti kelas balet dan kegiatan ekstrakulikuler lainnya yang diselenggarakan oleh sekolahnya.

Saat aktif di komunitas gereja baru ini, ia kerap mendengar pembicaraan orang-orang di sekitarnya yang mengaku berbicara dengan Tuhan dalam bahasa roh. Hal tersebut menimbulkan kebingungan dalam dirinya yang saat itu tengah mempelajari konsep mengenai ketuhanan.
Ketika merayakan ulang tahunnya yang ke-17, Susan membuat beberapa resolusi di tahun baru. Salah satu resolusinya adalah menyelidiki agama-agama lain.

“Agama Islam saat itu tidak masuk dalam daftar teratas karena agama ini bagi saya terlihat asing dan penuh dengan kekerasan,” ungkapnya.

Pengetahuan tentang Islam yang dimiliki Susan kala itu hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang ia baca di buku ensiklopedia anak-anak dan dalam film berjudul “Not Without My Daughter”.
Disamping itu, ada juga pesan yang pernah disampaikan ibunya bahwa beliau tidak peduli jika dirinya menikah dengan seorang pengedar narkoba sekalipun, asalkan jangan dengan seorang Muslim.
Lalu, kenapa ia kemudian memilih Islam? Ada nilai lebih yang ia dapatkan dalam agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yakni kedamaian dan kelembutan. Kebalikan dari yang pernah ia dengar sebelumnya.

Saat disuruh menjelaskan bagaimana ia bisa memutuskan menjadi seorang Muslimah, ibu dua anak ini menuturkan kepada harian The Star bahwa ia tidak bisa mengingat secara pasti, apakah dia menemukan Islam atau Islam menemukannya.

Yang pasti, semua peristiwa tersebut tidak pernah ia rancang sebelumnya. “Hari itu, saya menyetel televisi dan mendapati diri saya sedang asyik menyaksikan sebuah program mengenai Islam,” tuturnya.
Sejak saat itu, berbagai artikel mengenai Islam di koran dan majalah selalu menarik perhatian Susan. Tanpa disadarinya, ia mulai mempelajari agama Islam. Ketika dalam proses pembelajaran tersebut, Susan justru menemukan sebuah kelembutan yang tidak pernah ia temukan. Lagi pula, ajaran Islam menarik baginya secara intelektual.

“Agama ini jauh berbeda dibandingkan agama-agama yang pernah saya pelajari dan selidiki. Dalam Islam, ternyata tidak mengenal yang namanya pemisahan antara pikiran, tubuh, dan jiwa seperti halnya yang pernah saya pelajari dalam agama Kristen,” papar dosen sosiologi Universitas Monash, Australia, ini.
Berawal dari situ, Susan bertekad bulat untuk memeluk Islam. Satu kebohongan besar yang terpaksa ia lakukan adalah merahasiakan perihal keislamannya dari keluarga dan teman-temannya, terutama sang ibu.
Namun, takdir berkata lain. Rahasia yang telah ditutupinya rapat-rapat terbongkar juga ketika ibunya mengadakan perjamuan makan malam dengan menu hidangan utama daging babi.
“Saat itu, saya mengalami dilema, antara mesti mengumumkan soal keislaman saya atau memakan makanan haram itu,” ujarnya mengenang peristiwa itu.

Dalam kebimbangan tersebut, ia pun berterus terang. Namun, tanpa ia sangka, reaksi yang ditunjukkan oleh ibunya sungguh membuatnya terkejut. Bukan kemarahan dan cacian, melainkan tangisan dan pelukan erat dari sang ibunda yang diterimanya.
Selang beberapa hari setelah insiden makan malam tersebut, istri Waleed Ali ini kemudian memutuskan mengenakan jilbab. Menurutnya, menutup kepala merupakan kewajiban bagi seorang Muslimah.
Karena, hakikatnya, Islam mengatur segala aspek dalam kehidupan manusia. Bagi dia, banyak manfaat yang dirasakan dengan menutup aurat itu. “Selain sebagai sebuah peringatan agar kita lebih mendekatkan diri kepada-Nya, juga menjadikan wanita Muslim sebagai duta Islam,” katanya.
Selepas memeluk Islam, perjalanan hidup yang dilalui Susan tidaklah semudah yang dialami segelintir mualaf yang bernasib baik. Susan sering berhadapan dengan kemarahan khalayak ramai dan dijauhi oleh teman-temannya.
Bahkan, ia juga kerap mendapatkan penghinaan di depan umum terkait dengan jilbab yang menutupi kepala dan rambutnya.

“Dan gunung-gunung sebagai pasak bumi.

4 Oktober 2012






“Dan gunung-gunung sebagai pasak bumi” (QS. An-Naba: 7)
Secara umum yang dimaksud dengan gunung adalah bagian permukaan Bumi yang lebih tinggi dari daerah sekitarnya. Pada beberapa ketinggian gunung bisa memiliki dua atau lebih iklim, jenis tumbuh-tumbuhan, dan kehidupan yang berbeda. Dan gunung adalah salah satu makhluk dari sekian banyak makhluk ciptaan Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-.

Anda pasti sudah sering melihat gunung, terlebih bagi anda yang tinggal di dataran tinggi. Jika kita perhatikan fenomena yang terjadi saat ini banyak manusia yang tidak terlalu peduli dengan keberadaan gunung, mereka menganggap gunung hanyalah sebongkah batu besar yang sama sekali tidak penting.

Tetapi di sisi lain banyak pula manusia yang berlebihan, mereka menganggap gunung adalah tempat suci yang begitu sakral dan Istimewa. Misalnya saja orang Jepang yang begitu menyakralkan gunung Fuji. Orang Yunani berkeyakinan dewa-dewi mereka tinggal di gunung Olympus. Begitupun Pegunungan Himalaya yang dianggap sebagai tempat tinggal dewanya orang India dan Tibet.

Gunung Agung juga dianggap sebagai tempat dewanya orang Bali. Gunung Merapi pun dianggap angker oleh mayoritas masyarakat Yogyakarta, bahkan sebagian penduduk di sekitar gunung Merapi yakin bahwa  puncak Merapi adalah istananya mahluk halus, sehingga banyak orang yang berkunjung ke sana untuk ngalap berkah dan tolak bala, tentunya dengan membawa sembelihan sebagai sajen. Fenomena apa ini? Semua orang baik di dalam maupun luar negri mengaitkan gunung pada fungsi mistik supranatural.
Lalu bagaimanakah sikap kita sebagai ummat Islam dalam menyikapi keberadaan gunung? Inilah yang akan coba kita ulas pada edisi kali ini.

Sebagai seorang muslim tentu kita tak akan dibingungkan dengan fenomena di atas, karena kita telah mengirarkan dua Kalimat Syahadat, maka berarti kita meniadakan semua sesembahan yang berhak untuk disembah selain Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-. Dan kita pun memiliki pedoman hidup yakni Al-Qur’an. Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- melalui kitab-Nya Al-Qur’an telah mementahkan keyakinan sesat mereka itu.
Dalam Al-Qur’an kita temukan kata gunung sebanyak 49 kali, dan tak satu pun ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa gunung memiliki kekuatan mistis supranatural. Gunung hanyalah makhluk Alloh yang tidak berbeda dengan makhluk lainnya, bahkan makhluk Alloh yang bernama manusia lebih mulia dibandingkan makhluk selainnya termasuk gunung.

Begitupun keyakinan adanya makhluk halus maupun dewa-dewi yang menghuni gunung atau penguasa gunung, semuanya hanyalah keyakinan khurofat alias Syirik. Padahal semua yang di langit dan di bumi adalah ciptaan Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-, dan Alloh pula yang berkuasa terhadap ciptaan-Nya. Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- ber-firman:

وَللَّهِ مُلْكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلأَرْضِ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Kepunyaan Alloh-lah kerajaan langit dan bumi, dan Alloh Maha Perkasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali Imran:189).
Semua sesembahan yang mereka sembah selain Alloh tidaklah bisa memberi manfaat, Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

وَيَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ مَا لاَ يَنفَعُهُمْ وَلاَ يَضُرُّهُمْ وَكَانَ ٱلْكَافِرُ عَلَىٰ رَبِّهِ ظَهِيراً
“Mereka menyembah selain Alloh apa yang tidak memberi manfa’at kepada mereka dan tidak (pula) memberi mudharat kepada mereka. Adalah orang-orang kafir itu penolong (syaitan untuk berbuat durhaka) terhadap Tuhannya.” (QS. Al-Furqan: 55).
 Kitapun wajib meyakini bahwa tidak ada yang mengetahui hal-hal ghaib kecuali Alloh, Alloh berfirman:
قُل لاَّ يَعْلَمُ مَن فِي ٱلسَّمَٰوٰتِ وٱلأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلاَّ ٱللَّهُ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Alloh” (QS. An-Naml: 65). Dengan demikian jelaslah kesesatan aqidah para pengagung makhluk ghaib penghuni gunung.
 Namun hal ini tidak berarti kita meniadakan sama sekali keistimewaan dari makhluk Alloh yang satu ini (gunung) atau menganggapnya hanya bongkahan batu besar yang tak berarti. Namun ternyata gunung pun memiliki fungsi, bahkan jika kita renungkan dan tafakkuri keindahan dan keistimewaan gunung maka hal tersebut dapat menambah keimanan kita ke-pada Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-.

Fungsi Gunung
Di dalam Al-Qur’an kita bisa membaca sekitar 22 ayat yang menyebutkan fungsi gunung sebagai pasak atau tiang pancang. Diantaranya adalah QS. An-Naba: 7. Pasak atau paku besar adalah benda yang menancap ke dalam. Artinya, kepala pasak yang tampak di luar selalu jauh lebih pendek dibanding panjangnya batang yang terhujam. Kenyataan ini tidaklah diketahui oleh siapapun di masa ketika Al Qur’an diturunkan. Nyatanya, hal ini baru saja terungkap sebagai hasil penemuan ilmu geologi modern, tepatnya Baru 20 tahun yang lalu para ahli geofisika menemukan bukti bahwa kerak bumi berubah terus.

Ketika itu baru ditemukan teori lempeng tektonik (plate tectonics) yang menyebabkan asumsi bahwa gunung mempunyai akar yang berperan menghentikan gerakan horizontal lithosfer. Menurut penemuan ini, gunung-gunung muncul sebagai hasil pergerakan dan tumbukan dari lempengan-lempengan raksasa. Ketika dua lempengan bertumbukan, lempengan yang lebih kuat menyelip di bawah lempengan yang satunya, sementara yang di atas melipat dan membentuk dataran tinggi dan gunung.

Lapisan bawah bergerak di bawah permukaan dan membentuk perpanjangan yang dalam ke bawah. Ini berarti gunung mempunyai bagian yang menghujam jauh ke bawah yang tak kalah besarnya dengan yang tampak di permukaan bumi, seolah fisik gunung itu berbentuk pasak/paku. (General Science, Carolyn Sheets, Robert Gardner, Samuel F. Howe; Allyn and Bacon Inc. Newton, Massachusetts, 1985, s. 305).
Dengan akarnya yang menghujam jauh ke dalam dan puncaknya menjulang tinggi ke atas permukaan bumi, maka gunung-gunung tersebut dapat menggenggam lempengan-lempengan kerak bumi yang berbeda, layaknya pasak.

Sebagaimana yang kita tahu bahwa kerak bumi terdiri atas lempengan-lempengan benua. Lempengan kerak bumi itu senantiasa dalam keadaan bergerak mengapung di atas lapisan cairan kental magma perut bumi yang begitu panas dengan temperatur  yang berkisar antara 1.000- 4.300°C di setiap lapisannya. 
Fungsi pasak dari gunung ini adalah mencegah guncangan dengan cara memancangkan kerak bumi yang memiliki struktur sangat mudah bergerak.

Fungsi pemancangan dari gunung dijelaskan dalam tu-lisan ilmiah dengan istilah “isostasi“. Isostasi adalah kesetimbangan dalam kerak bumi yang terjaga oleh aliran materi be-batuan di bawah permukaan akibat tekanan gravitasi. (Webster’s New Twentieth Century Dictionary, 2. edition “Isostasy”, New York, s. 975).
Singkatnya, kita dapat menyamakan gunung dengan paku yang menjadikan lembaran-lembaran kayu tetap menyatu. Dan hal itu telah jauh-jauh hari Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- jelas-kan dalam Al-Qur’an, tepatnya 14 abad yang lalu. Hal ini senada dengan firman Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- :
“Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak goncang ber sama kalian, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 15).

Subhanalloh…Bagaimana mungkin Nabi -Shalallahu ‘alaihi wa Sallam- yang ummi dan hidupnya di abad ke-6 M di tengah masyarakat padang pasir bisa mengetahui tantang gerakan horizontal lithosfer bumi yang berfungsi menstabilkan goncangan? Inilah bukti kebenaran Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an bukan-lah perkataan Muhammad -Shalallahu ‘alaihi wa Sallam-, ditambah lagi dalam sebuah hadits, Rasulullah ber-sabda; Tatkala Alloh -Subhanahu wa Ta’ala- menciptakan bumi, maka bumi pun bergetar. Lalu Alloh pun menciptakan gunung dengan kekuatan yang telah diberikan kepadanya, ternyata bumi pun terdiam. Para malaikat terheran-heran akan penciptaan gunung tersebut. Kemudian mereka bertanya? “Ya  Rabbi, adakah sesuatu dalam penciptaan-Mu yang lebih kuat dari pada gunung?” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).

Dan hadits tersebut kembali membuktikan bahwa tidak lain yang diucapkan oleh Rasulullah adalah wahyu dari Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-. Subhanalloh. Namun sebagai seorang muslim, tanpa bukti pun kita wajib beriman dan menerima semua berita yang bersumber dari wahyu dalam bentuk Al-Qur’an dan Hadits.
Semoga Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-  senantiasa menetapkan kita dalam keta’atan kepada Alloh -Subhanahu wa Ta’ala-. Amin. (Red-HASMI).

Tadabur Surat an-Naml : 40

2 Oktober 2012

"Ini adalah bagian dari karunia Allah, untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau kufur.” (QS An-Naml 40).
Ini adalah perkataan  nabi Sulaiman as. ketika mendapatkan puncak keni’matan dunia dengan ditundukkannya mahluk Allah padanya. Pada sisi yang berlawanan saat Qarun mendapatkan karunia harta yang sangat banyak, dia berkata, “Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali  dari hasil kehebatan ilmuku” (QS Al-Qashash 78). Dua kisah yang bertolak belakang menghasilkan akhir kesudahan yang berbeda. Nabi Sulaiman as mendapatkan karunia di dunia dan akhirat, sedangkan Qarun, harta yang diberikan Allah padanya di dunia menyebabkannya  diadzab Allah di dunia dan akhirat karena kekufurannya akan ni’mat Allah.
Demikianlah bahwa fragmen hidup manusia tidak terlepas dari dua golongan tersebut. Golongan pertama, manusia yang mendapatkan ni’mat Allah dan mereka mensyukurinya dengan sepenuh hati. Dan golongan kedua, manusia yang mendapatkan banyak ni’mat lalu mereka kufur atas ni’mat tersebut. Golongan pertama yaitu para nabi, shidiqqin, syuhada dan shalihin (QS 4: 69-70). Golongan kedua mereka inilah para penentang kebenaran, seperti Namrud, Fir’aun, Qarun, Abu Lahab, Abu Jahal dan para pengikut mereka dari masa ke masa.
Secara umum bahwa kesejahteraan, kedamaian dan keberkahan merupakan hasil dari syukur kepada Allah sedangkan kesempitan, kegersangan dan kemiskinan akibat dari kufur kepada Allah. “ Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan ( dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk) nya mengingkari ni’mat-ni’mat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (QS An Nahl 112)
NI’MAT ALLAH
Betapa zhalimnya manusia, bergelimangan dengan ni’mat Allah tetapi tidak bersyukur kepada-Nya (QS 14: 34). Ni’mat yang Allah berikan kepada manusia mencakup aspek lahir (zhaahirah)  dan batin (baatinah) serta gabungan dari keduanya. Surat Ar-Rahman menyebutkan berbagai macam keni’matan itu dan mengingatkan kepada manusia akan ni’mat tersebut dengan   berulang-ulang selama 31 kali, “ Maka ni’mat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan ?”
Baca dan tadabburilah surat Ar-Rahman. Allah yang Maha Penyayang memberikan limpahan ni’mat kepada manusia dan tidak ada satu mahlukpun yang dapat menghitungnya.  Dari awal  sampai akhir surat Ar-Rahman, Allah merinci ni’mat-ni’mat itu.
Dimulai dengan ungkapan yang sangat indah, nama Allah, Dzat Yang Maha Pemurah, Ar-Rahmaan. Mengajarkan Al-Qur’an, menciptakan manusia dan mengajarinya pandai berkata-kata dan berbicara. Menciptakan mahluk langit dengan penuh keseimbangan, matahari, bulan dan bintang-bintang. Menciptakan bumi, daratan dan lautan dengan segala isinya semuanya untuk manusia. Dan menciptakan mausia dari bahan baku yang paling baik untuk dijadikan mahluk yang paling baik pula. Kemudian mengingatkan manusia dan jin bahwa dunia seisinya tidak kekal dan akan berakhir. Hanya Allah-lah yang kekal. Disana ada alam lain, akhirat. Surga dengan segala bentuk keni’matannya dan neraka dengan segala bentuk kengeriannya. “ Maka ni’mat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan?”
Sarana Hidup (Wasa-ilul Hayah). Sungguh Maha Agung nama Rabbmu Yang Mempunyai kebesaran dan karunia. Marilah kita sadar akan ni’mat itu dan menysukurinya dengan sepenuh hati. Dalam surat An-Nahl ayat 78, ada ni’mat yang lain yang harus disyukuri manusia, “ Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Cobalah renungkan! Bagaimana jika manusia hidup di dunia dalam kondisi buta, maka dia tidak dapat melihat. Seluruh yang ada dihadapannya adalah sama. Tidak dapat melihat keindahan warna-warni dan tidak dapat melihat keindahan alam semesta. Coba sekali lagi renungkan! Bagaimana jadinya jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta dan tuli. Maka dia tidak dapat berbuat apa-apa. Dan coba sekali lagi renungkan! Jika manusia hidup di dunia dalam keadaan buta, tuli dan gila. Maka hidupnya dihabiskan di rumah sakit, menjadi beban yang lainnya. Demikianlah ni’mat penglihatan, pendengaran dan akal. Demikianlah ni’mat sarana kehidupan (wasail al-hayat).
Pedoman Hidup (Manhajul Hayah). Sekarang apa jadinya jika manusia itu diberi karunia oleh Allah mata untuk melihat, telinga untuk mendengar dan akal untuk berfikir. Kemudian mata itu tidak digunakan untuk melihat ayat-ayat Allah, telinga tidak digunakan untuk mendengarkan ayat-ayat Allah dan akal tidak digunakan untuk mengimani dan memahami ayat-ayat Allah. Maka itulah seburuk-buruknya mahluk, mereka itu seperti binatang, bahkan lebih rendah dari binatang. “ Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai” (QS Al-A’raaf 179).
Demikianlah, betapa besarnya ni’mat petunjuk Islam (hidayatul Islam) dan pedoman hidup (manhajul hayah). Ni’mat ini lebih besar dari seluruh harta dunia dan seisinya. Ni’mat ini mengantarkan orang-orang beriman dapat menjalani hidupnya dengan lurus, penuh kejelasan dan terang benderang. Mereka mengetahui yang hak dan yang batil, yang halal dan yang haram.
Al-Qur’an banyak sekali membuat perumpamaan orang yang tidak menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, diantaranya digambarkan seperti binatang secara umum dan  binatang tertentu secara khusus, seperti; anjing, keledai, kera dan babi (QS, 7: 176, 62:5, 8: 55, 5:60). Diumpamakan juga seperti orang yang berjalan dengan kepala (67: 22), buta dan tuli (5:71), jatuh dari langit dan disambar burung (22: 31) kayu yang tersandar (63:4) dan lainnya.
Pertolongan (An-Nashr) Ada satu bentuk keni’matan lagi yang akan Allah berikan kepada orang-orang beriman disebabkan mereka  komitmen dengan manhaj Allah dan berdakwah untuk menegakkan sistem Islam, yaitu pertolongan Allah, “ Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (QS Muhammad 7).
Pertolongan Allah itu sangat banyak bentuknya, diantaranya perlindungan dan tempat menetap (al-iwaa), dukungan Allah sehingga menjadi kuat (ta’yiid), rizki yang baik-baik, kemenangan (al-fath), kekuasaan (al-istikhlaaf), pengokohan agama (tamkinud-din) dan berbagai macam bentuk pertolongan Allah yang lain (QS Al-Anfaal  26, as-Shaaf 10-13 dan An-Nuur 55). Segala bentuk keni’matan tersebut baik yang zhahir, bathin, maupun gabungan antara keduanya haruslah direspon dengan syukur secara optimal. Dan dalam bersyukur kepada Allah harus memenuhi rukun-rukunnya.
RUKUN SYUKUR
Para ulama menyebutkan bahwa rukun syukur ada tiga, yaitu I’tiraaf (mengakui), tahaddust (menyebutkan) dan Taat.
1. Al-I’tiraaf
Pengakuan bahwa segala ni’mat dari Allah adalah suatu prinsip yang sangat penting, karena sikap ini muncul dari ketawadhuan seseorang. Sebaliknya jika seseorang tidak mengakui ni’mat itu bersumber dari Allah, maka merekalah orang-orang takabur. Tiada daya dan kekuatan kecuali bersumber dari Allah saja. “ Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah dialah yang Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji” (QS Fathir 15).
Dalam kehidupan modern sekarang ini, orang-orang sekuler menyandarkan segala sesuatunya pada kemampuan dirinya dan mereka sangat menyakini bahwa kemampuannya dapat menyelesaikan segala problem hidup. Mereka sangat bangga terhadap capaian yang telah dirah dari peradaban dunia, seolah-olah itu adalah hasil kehebatan ilmu dan keahlian mereka. Pola pikir seperti sama dengan pola pikir para pendahulu mereka seperti Qarun dan sejenisnya. “ Sesungguhnya harta kekayaan ini, tidak lain kecuali  dari hasil kehebatan ilmuku” (QS Al-Qashash 78).
Dalam konteks manhaj Islam, pola pikir seperti inilah yang menjadi sebab utama masalah dan problematika yang menimpa umat manusia sekarang ini. Kekayaan yang melimpah ruah di belahan dunia barat hanya dijadikan sarana pemuas syahwat, sementara dunia Islam yang menjadi wilayah jajahannya dibuat miskin, menderita dan terbelakang. Sedangkan umat Islam dan pemerintahan di negeri muslim yang mengikuti pola hidup barat kondisi kerusakannya hampir sama dengan dunia barat tersebut bahkan mungkin lebih parah lagi. I’tiraaf adalah suatu bentuk pengakuan yang tulus dari orang-orang beriman bahwa Allah itu ada, berkehendak dan kekuasaannya meliputi langit dan bumi. Semua mahluk Allah tidak ada yang dapat lepas dari iradah (kehendak) dan qudrah (kekuasaan) Allah.
2. At-Tahadduts
“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, Maka hendaklah kamu siarkan” (QS Ad-Duhaa 11). Abi Nadhrah berkata, “ Dahulu umat Islam melihat bahwa diantara bentuk syukur ni’mat yaitu mengucapkannya”. Rasul saw. bersabda, “ Tidak bersyukur kepada Allah orang yang tidak berterima kasih pada manusia” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Berkata Al-Hasan bin Ali, “ Jika anda melakukan (mendapatkan) kebaikan, maka ceritakan kepada temanmu”. Berkata Ibnu Ishak, “ Sesuatu yang datang padamu dari Allah berupa keni’matan dan kemuliaan kenabian, maka ceritakan dan dakwahkan kepada manusia.
Orang beriman minimal mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah) ketika mendapatkan keni’matan sebagai refleksi syukur kepada Allah. Demikianlah betapa pentingnya hamdalah, dan Allah mengajari pada hamba-Nya dengan mengulang-ulang ungkapan Alhamdulillah dalam Al-Qur’an dalam mengawali ayat-ayat-Nya.
Sedangkan ungkapan minimal yang harus diucapkan orang beriman, ketika mendapatkan kebaikan melalui perantaraan manusia, mengucapkan pujian dan do’a, misalnya, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas kebaikanmu). Disebutkan dalam hadits Bukhari dan Muslim dari Anas ra, bahwa kaum Muhajirin berkata pada Rasulullah saw. ,”Wahai Rasulullah saw orang Anshar memborong semua pahala”. Rasul saw. bersabda,” Tidak, selagi kamu mendo’akan dan memuji kebaikan mereka” .
Dan ucapan syukur yang paling puncak ketika kita menyampaikan keni’matan yang paling puncak yaitu Islam, dengan cara mendakwahkan kepada manusia. At-Tha’ah Allah menyebutkan bahwa para nabi adalah hamba-hamba Allah yang paling bersyukur dengan melaksanakan puncak ketaatan dan pengorbanan.  Dan contoh-contoh tersebut sangat nampak pada 5 Rasul utama, nabi Nuh as, nabi Ibrahiim as, nabi Musa as, nabi Isa as dan nabi Muhammad saw. Allah SWT. Menyebutkan tentang Nuh as. “Sesungguhnya dia (Nuh as) adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur (QS Al-Israa 3).
Dan lihatlah bagaimana  Aisyah ra menceritakan tentang ketaatan Rasulullah saw. Suatu saat Rasulullah saw. melakukan shalat malam sehingga kakinya terpecah-pecah. Berkata Aisyah ra.,” Engkau melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang?! Berkata Rasulullah saw, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?“ (HR Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Atha, berkata, aku bertanya pada ‘Aisyah, “ Ceritkan padaku sesuatu yang paling engkau kagumi yang engkau lihat dari Rasulullah saw!” Aisyah berkata, “Adakah urusannya yang tidak mengagumkan ! Pada suatu malam beliau mendatangiku dan berkata,” Biarkanlah aku menyembah Rabbku”. Maka beliau bangkit berwudhu dan shalat. Beliau menangis sampai airmatanya mengalir didadanya, kemudian ruku dan menangis, kemudian sujud dan menangis, kemudian mengangkat mukanya dan menangis. Dan beliau tetap dalam kondisi seperti itu sampai Bilal mengumandangkan adzan shalat” . Aku berkata, “ Wahai Rasulullah saw. apa yang membuat engkau menangis padahal Allah sudah mengampuni dosa yang lalu dan yang akan datang? “ Rasul saw. berkata,” Tidak bolehkah aku menjadi hamba Allah yang bersyukur? (HR Ibnul Mundzir Ibnu Hibban, Ibnu Mardawaih dan Ibnu ‘Asakir).
3. TAMBAHAN NI’MAH
Refleksi syukur yang dilakukan dengan optimal akan menghasilkan tambahan ni’mat dari Allah (ziyadatun ni’mah), dalam bentuk keimanan yang bertambah (ziyadatul iman), ilmu yang bertambah, (ziyadatul ‘ilmi), amal yang bertambah (ziyadatul amal),  rezeki yang bertambah (ziyadatur rizki) dan akhirnya mendapatkan puncak dari keni’matan yaitu dimasukan ke dalam surga dan dibebaskan dari api neraka. Demikianlah janji Allah yang disebutkan dalam surat Ibrahim 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."

Siti Aisyah RA, menikah di usia 19 tahun

1 Oktober 2012


Kita selama ini memperoleh informasi bahwa Rasulullah SAW telah melamar Aisyah RA ketika berumur 6 tahun dan berumah tangga ketika berusia 9 tahun.
apa benar informasi itu?



Aisyah RA menikah di usia 19 tahun
Nah, untuk menjawab pertanyaan benar atau tidak masalah ini, melalui studi kritis terhadap hadits, Maulana Habibur Rahman Siddiqui Al-Kandahlawi menemukan informasi baru. Dalam bukunya Umur Aesyah, ternyata ada berita baru yang lebih masuk akal dan bisa diterima logika.

 Rasulullah SAW berumah tangga dengan Aisyah RA saat Aisyah RA berusia 19 tahun.
Jadi, bagaimana cerita runtutnya?!
Maulana Habibur Rahman Siddiqui Al-Kandahlawi adalah seorang ahli hadits dari India. Ia lahir tahun 1924 M, putera ulama hadits terkenal Mufti Isyfaq Rahman. Ayahnya ini pernah jadi mufti besar Bhopal India.
Adapun yang menjadi dasar kesimpulan tersebut adalah riwayat yang menunjukkan beda usia Aisyah RA dengan kakaknya Asma, sekitar 10 tahun. Riwayat ini ada di kitab Siyar A’lamal Nubala karangan Al Zahabi. Sedangkan Asma meninggal di usia 100 tahun pada tahun 73 H (diriwayatkan Ibnu Kathir dan Ibnu Hajar). Artinya, Asma lahir tahun 27 Sebelum Hijrah dan Aisyah lahir tahun 17 Sebelum Hijrah.

Sementara itu, para ahli sejarah sepakat bahwa pernikahan Rasulullah SAW dengan Aisyah RA, terjadi pada sekitar tahun 2 H. Berarti Aisyah RA berumah tangga dengan Rasulullah SAW pada usia 19 tahun.
Mudah-mudahan dengan berita ini, tidak ada lagi berita-berita miring yang dialamatkan kepada Rasulullah SAW atas pernikahannya dengan Siti Aisyah. Kalau umur 19 tahun di masa itu, sepertinya sudah layak dianggap dewasa. Secara emosional dan psikologis, umur 19 tahun juga sudah bukan umur anak-anak lagi.
WaLlahu a’lamu bishshawab
Dalil Tambahan :
1. Siti Aisyah Ra. berkata :
“Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Shahih Bukhari, kitabu’l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa’l-sa`atu adha’ wa amarr)…
Untuk dipahami, gadis muda (jariah), adalah mereka yang telah berusia antara 6-13 tahun.
Jika Surat al Qamar, diturunkan pada tahun ke 8 (delapan) sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), berarti usia Aisyah ra. saat menikah antara 16-23 tahun…
Syekh Muhammad Sayyid At-Thanthawy berpendapat, Surat al Qamar diturunkan pada tahun ke 5 (lima) sebelum hijriah.  Jikapun pendapat ini, kita jadikan patokan (dasar), maka akan diperoleh keterangan  usia Aisyah ra. saat beliau menikah, antara 13-20 tahun…
2. Ketika terjadi perang Uhud (tahun 3H), Aisyah Ra. diperbolehkan ikut serta…
Di dalam Bukhari (Kitabu’l-jihad wa’l-siyar, Bab Ghazwi’l-nisa’ wa qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahawa pada hari Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tersebut.”
Dengan mengambil asumsi pada tahun 3H, usia Aisyah Ra. adalah 9 tahun…
Yang menjadi pertanyaan, benarkah anak usia 9 tahun diperkenankan ikut berperang… ???
Berdasarkan Hadis Shahih Bukhari, seseorang baru diperkenankan ikut berperang setelah berusia 15 tahun:
Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa hiya’l-ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya menyertai dalam perang Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tersebut.”
Berdasarkan riwayat Hadits Bukhari diatas, kanak-kanak lelaki berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang.
Sekali lagi, hal ini membuktikan pada tahun 3H, Aisyah ra tidak berusia 9 tahun, melainkan telah berusia 15 tahun atau di atasnya…
3. Logika Budaya dari Guru Besar IAIN, Prof.DR. Nasarudin Umar, beliau pernah menjelaskan, bahwa nikah Sirri tidak pernah ada dalam budaya Jazirah Arab, juga Nikah Usia Muda tidak pernah ada di Arab dari dulu sampai jaman sekarang.

Tradisi Arab mensyaratkan seorang gadis boleh menikah bila telah menstruasi, sedangkan saat zaman Nabi gadis mendapatkan menstruasi pertamanya umumnya umur 13-14 tahun, sekarang karena gizi yang lebih baik di Indonesiapun Gadis umur 11-12 tahun bisa mendapatkan menstruasi pertamanya, jadi tidak ada tradisi mengawinkan gadis belum menstruasi di Arab. Apalagi Abubakar Ra. adalah seorang sahabat yang tahu betul Fikih, jadi tidak mungkin mengawinkan Aisyah sebelum umur 13-14 tahun, apalagi 9 tahun.
4. Logika Budaya Arab Modern, menurut beberapa sumber dari mereka yang pernah hidup di Baghdad, Mekkah dan Kairo, hadist tentang Aisyah menikah umur 9 tahun disana tidak laku, tidak pernah dibahas (hanya di Indonesia dan Malaysia saja hadist itu dikenal secara populer). Jadi Jazirah Arab tanpa mengkaitkan dengan hadist pun, masyarakat disana tidak ada tradisi menikahkan anak gadis yang belum menstruasi, apalagi umur 9 tahun.
5. Berdasarkan Sirah An-Nabawiyah (Ibnu Hisyam, 1/245-262.), dakwah secara siriyyah, yang dilakukan Rasulullah sekitar kurang lebih 3 tahun dan sampai orang Islam berjumlah 40 orang.  Sejarah mencatat, Aisyah Ra. adalah orang ke-19 yang menerima Islam, ini berarti beliau masuk Islam pada masa dakwah disampaikan secara siriyyah (sembunyi-sembunyi).
Jika Aisyah Ra. pada tahun 2H saat ia menikah, baru berumur 9 tahun. Maka di masa dakwah secara siriyyah, berdasarkan perhitungan tahun, kemungkinan beliau belum lahir.

Bagaimana anak yang belum lahir, bisa bersyahadat
?


Mari kita pahami hadits berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ عُقَيْلٍ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَقَالَ أَبُو صَالِحٍ حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ عَنْ يُونُسَ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَرَفَيْ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَرْكَ الْغِمَادِ لَقِيَهُ ابْنُ الدَّغِنَةِ وَهُوَ سَيِّدُ الْقَارَةِ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجَنِي قَوْمِي فَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَسِيحَ فِي الْأَرْضِ فَأَعْبُدَ رَبِّي قَالَ ابْنُ الدَّغِنَةِ إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَخْرُجُ وَلَا يُخْرَجُ فَإِنَّكَ تَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ وَأَنَا لَكَ جَارٌ فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلَادِكَ فَارْتَحَلَ ابْنُ الدَّغِنَةِ فَرَجَعَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَطَافَ فِي أَشْرَافِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَا يَخْرُجُ مِثْلُهُ وَلَا يُخْرَجُ أَتُخْرِجُونَ رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَأَنْفَذَتْ قُرَيْشٌ جِوَارَ ابْنِ الدَّغِنَةِ وَآمَنُوا أَبَا بَكْرٍ وَقَالُوا لِابْنِ الدَّغِنَةِ مُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيَعْبُدْ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَلْيُصَلِّ وَلْيَقْرَأْ مَا شَاءَ وَلَا يُؤْذِينَا بِذَلِكَ وَلَا يَسْتَعْلِنْ بِهِ فَإِنَّا قَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا قَالَ ذَلِكَ ابْنُ الدَّغِنَةِ لِأَبِي بَكْرٍ فَطَفِقَ أَبُو بَكْرٍ يَعْبُدُ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَلَا يَسْتَعْلِنُ بِالصَّلَاةِ وَلَا الْقِرَاءَةِ فِي غَيْرِ دَارِهِ ثُمَّ بَدَا لِأَبِي بَكْرٍ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَبَرَزَ فَكَانَ يُصَلِّي فِيهِ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَتَقَصَّفُ عَلَيْهِ نِسَاءُ الْمُشْرِكِينَ وَأَبْنَاؤُهُمْ يَعْجَبُونَ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا بَكَّاءً لَا يَمْلِكُ دَمْعَهُ حِينَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ أَشْرَافَ قُرَيْشٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَرْسَلُوا إِلَى ابْنِ الدَّغِنَةِ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا لَهُ إِنَّا كُنَّا أَجَرْنَا أَبَا بَكْرٍ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَإِنَّهُ جَاوَزَ ذَلِكَ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَأَعْلَنَ الصَّلَاةَ وَالْقِرَاءَةَ وَقَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا فَأْتِهِ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَعَلَ وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يُعْلِنَ ذَلِكَ فَسَلْهُ أَنْ يَرُدَّ إِلَيْكَ ذِمَّتَكَ فَإِنَّا كَرِهْنَا أَنْ نُخْفِرَكَ وَلَسْنَا مُقِرِّينَ لِأَبِي بَكْرٍ الِاسْتِعْلَانَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَتَى ابْنُ الدَّغِنَةِ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ قَدْ عَلِمْتَ الَّذِي عَقَدْتُ لَكَ عَلَيْهِ فَإِمَّا أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى ذَلِكَ وَإِمَّا أَنْ تَرُدَّ إِلَيَّ ذِمَّتِي فَإِنِّي لَا أُحِبُّ أَنْ تَسْمَعَ الْعَرَبُ أَنِّي أُخْفِرْتُ فِي رَجُلٍ عَقَدْتُ لَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى بِجِوَارِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ قِبَلَ الْمَدِينَةِ حِينَ ذَكَرَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْضُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى رِسْلِكَ فَإِنِّي أَرْجُو أَنْ يُؤْذَنَ لِي قَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ تَرْجُو ذَلِكَ بِأَبِي أَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ
عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيَصْحَبَهُ وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِنْدَهُ وَرَقَ السَّمُرِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ



Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Al Laits dari ‘Uqail berkata, Ibnu Syihab maka dia mengabarkan keada saya ‘Urwah bin Az Zubair bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata; “Aku belum lagi baligh ketika bapakku sudah memeluk Islam”. Dan berkata, Abu Shalih telah menceritakan kepada saya ‘Abdullah dari Yunus dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepada saya ‘Urwah bin Az Zubair bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; “Aku belum lagi baligh ketika bapakku sudah memeluk Islam dan tidak berlalu satu haripun melainkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang menemui kami di sepanjang hari baik pagi ataupun petang. Ketika Kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar keluar berhijrah menuju Habasyah (Ethiopia) hingga ketika sampai di Barkal Ghomad dia didatangi oleh Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala suku seraya berkata; “Kamu hendak kemana, wahai Abu Bakar?”
Maka Abu Bakar menjawab:

“Kaumku telah mengusirku maka aku ingin keliling dunia agar aku bisa beribadah kepada Tuhanku”.

Ibnu Ad-Daghinah berkata: “Seharusnya orang seperti anda tidak patut keluar dan tidap patut pula diusir karena anda termasuk orang yang bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran.

Maka aku akan menjadi pelindung anda untuk itu kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negeri kelahiranmu. Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-siap dan kembali bersama Abu Bakar lalu berjalan di hadapan Kafir Quraisy seraya berkata, kepada mereka: “Sesungguhnya orang sepeti Abu Bakar tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir. Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak berpunya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?” Akhirnya orang-orang Quraisy menerima perlindungan Ibnu Ad-Daghinah dan mereka memberikan keamanan kepada Abu Bakar lalu berkata, kepada Ibnu Ad-Daghinah:

“Perintahkanlah Abu Bakar agar beribadah menyembah Tuhannya di rumahnya saja dan shalat serta membaca Al Qur’an sesukanya dan dia jangan mengganggu kami dengan kegiatannya itu dan jangan mengeraskannya karena kami telah khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap anak-anak dan isteri-isteri kami”. Maka Ibnu Ad-Daghinah menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar.

Maka Abu Bakar mulai beribadah di rumahnya dan tidak mengeraskan shalat bacaan Al Qur’an diluar rumahnya. Kemudian AbuBakar membangun tempat shalat di halaman rumahnya sedikit melebar keluar dimana dia shalat disana dan membaca Al Qur’an. Lalu istrei-isteri dan anak-anak Kaum Musyrikin berkumpul disana dengan penuh keheranan dan menanti selesainya Abu Bakar beribadah. Dan sebagaimana diketahui Abu Bakar adalah seorang yang suka menangis yang tidak sanggup menahan air matanya ketika membaca Al Qur’an. Maka kemudian kagetlah para pembesar Quraisy dari kalangan Musyrikin yang akhirnya mereka memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke hadapan mereka dan berkata, kepadanya: “Sesungguhnya kami telah memberikan perlindungan kepada Abu Bakr agar dia mberibadah di rumahnya namun dia melanggar hal tersebut dengan membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta mengeraskan shalat dan bacaan padahal kami khawatir hal itu akan dapat mempengaruhi isteri-isteri dan anak-anak kami dan ternyata benar-benar terjadi. Jika dia suka untuk tetap beribadah di rumahnya silakan namun jika dia menolak dan tetap menampakkan ibadahnya itu mintalah kepadanya agar dia mengembalikan perlindungan anda karena kami tidak suka bila kamu melanggar perjanjian dan kami tidak setuju bersepakat dengan Abu Bakar”. Berkata, ‘Aisyah radliallahu ‘anha: Maka Ibnu Ad-Daghinah menemui Abu Bakar dan berkata: “Kamu telah mengetahui perjanjian yang kamu buat, maka apakah kamu tetap memeliharanya atau mengembalikan perlindunganku kepadaku karena aku tidak suka bila orang-orang Arab mendengar bahwa aku telah melanggar perjanjian hanya karena seseorang yang telah aku berjanji kepadanya”. Maka Abu Bakar berkata: “Aku kembalikan jaminanmu kepadamu dan aku ridho hanya dengan perlindungan Allah dan RasulNya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Kejadian ini adalah di Makkah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh aku telah ditampakkan negeri tempat hijrah kalian dan aku melihat negeri yang subur ditumbuhi dengan pepohonan kurma diantara dua bukit yang kokoh. Maka berhijrahlah orang yang berhijrah menuju Madinah ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkanhal itu.

Dan kembali pula berdatangan ke Madinah sebagian dari mereka yang pernah hijrah ke Habasyah sementara Abu Bakar telah bersiap-siap pula untuk berhijrah. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepadanya: “Janganlah kamu tergesa-gesa karena aku berharap aku akan diizinkan (untuk berhijrah) “. Abu Bakar berkata: “Sungguh demi bapakku tanggungannya, apakah benar Tuan mengharapkan itu?” Beliau bersabda: “Ya benar”. Maka Abu Bakar berharap dalam dirinya bahwa dia benar-benar dapat mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam berhijrah. Maka dia memberi makan dua hewan tunggangan yang dimilikinya dengan dedaunan Samur selama empat bulan.


Sumber : 
English Version : Bukhari, Book 37: Transferance of a Debt from One Person to Another (Al-Hawaala). Volume 3, Book 37, Number 494
1. http://www.sacred-texts.com/isl/bukhari/bh3/bh3_492.htm
2. http://www.searchtruth.com/book_display.php?book=37&translator=1
Perhatikan tulisan yang dicetak tebal, pada hadits di atas
‘Aisyah radliallahu ‘anha berkata; “Aku belum lagi baligh ketika bapakku sudah memeluk Islam

Hal ini bermakna ketika Abu Bakar ra. masuk Islam, Aisyah ra. sudah lahir.
Berdasarkan catatan sejarah, Abu Bakar ra. masuk Islam pada tahun-1 Kenabian (tahun ke-10 Sebelum Hijriah). Dan jika pada saat itu Aisyah ra. telah berusia 7-8 tahun, maka saat beliau berumah tangga dengan Rasulullah, Aisyah ra. telah berusia 19-20 tahun.

revival of Islamic faith foundation

Sejarah

 

© Copyright revival of Islamic faith foundation 2012 | Design by Atmadeeva Keiza | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.