Tiap tanggal 1 April, ada saja
orang—terutama anak-anak muda—yang merayakan hari tersebut dengan
membuat aneka kejutan atau sesuatu keisengan. April Fools Day, demikian
orang Barat menyebut hari tanggal 1 April atau lebih popular disebut
sebagai ‘April Mop’. Namun tahukah Anda jika perayaan tersebut
sesungguhnya berasal dari sejarah pembantaian tentara Salib terhadap
Muslim Spanyol yang memang didahului dengan upaya penipuan? Inilah
sejarahnya yang disalin kembali sebagiannya dari buku “Valentine Day,
Natal, Happy New Year, April Mop, halloween: So What?”
Kajian
Bantahan
Fiqih
10.10
April Mob Adalah Tragedi Pembantaian Muslim
11 Oktober 2012
Tiap tanggal 1 April, ada saja
orang—terutama anak-anak muda—yang merayakan hari tersebut dengan
membuat aneka kejutan atau sesuatu keisengan. April Fools Day, demikian
orang Barat menyebut hari tanggal 1 April atau lebih popular disebut
sebagai ‘April Mop’. Namun tahukah Anda jika perayaan tersebut
sesungguhnya berasal dari sejarah pembantaian tentara Salib terhadap
Muslim Spanyol yang memang didahului dengan upaya penipuan? Inilah
sejarahnya yang disalin kembali sebagiannya dari buku “Valentine Day,
Natal, Happy New Year, April Mop, halloween: So What?”
08.41
1. Pengantar
b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus
Jilbab bukan kerudung
7 Oktober 2012
1. Pengantar
Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja
jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab
adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat,
sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana
panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana
panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat.
Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara
sempurna. Padahal tidak begitu.
Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam
kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan
as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya
syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana
muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau
mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat
tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil
yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat
kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh
lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat
sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang
terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang
sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang
diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan
kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi).
Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini
dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah
dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam
keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan
syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan
kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah
dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu
masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana
jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu,
kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan
teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam
kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan
mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh
kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi
sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan
kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi
orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan
pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang
berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?”
Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para
shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].
2. Aurat Dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al
hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama
mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat
kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al
hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan
anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah,
pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan
umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan
mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua
telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan
firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa)
nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan.
Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah
pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar
(Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam
kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat
yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang
dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang
sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li
Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan
dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak
dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau
mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam
ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa
terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat
al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain
yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali
wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’
binti Abu Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh
(haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan
ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh
tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya.
Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi
seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini
syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi
aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan
cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31)
“wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya.
Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi,
begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab
bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap
bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak
menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i,
tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian
yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi
kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka
dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup
itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui
apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti
ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit
sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari
Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi
Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling
seraya bersabda:
“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh
(haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan
ini.” [HR. Abu Dawud].
Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat,
malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw
berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan
pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid,
bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang
telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah
bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka
Rasulullah Saw bersabda kepadanya:
“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu,
karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.”
[HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh
Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441]
(Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah
Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau
memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan
warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau
bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain
Qibtiyah itu.”
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas
bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain
yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita
untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian
sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita
dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula
dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian
wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi
aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam
kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus,
kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’.
Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat,
seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya
tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu
sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang
dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh
dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian
itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah,
menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki
asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani,
1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan
tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung).
Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan
umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau
di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah)
(Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di
bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian
dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa
saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala,
leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika
hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum
(An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar)
dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan
melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia
tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar
dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis
pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya
dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman
Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):
“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):
“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu
dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah
hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:
“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju
shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami
tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah
saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah
dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang
wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak
mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).
Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai
pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat
pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita
agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan
menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah
r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar
di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada
saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak
akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur
sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata, ’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab, ’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw,
pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab—
telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan,
tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian
potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah
mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam
ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian)
tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi
artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka”
(sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan
jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 :
45-51).
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju
terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di
atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam
al-Qur’an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab
seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya.
Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah
fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan
sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana
pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [Ust. M. Shiddiq al-Jawi]
--------------------------------------------
Daftar Bacaan
--------------------------------------------
Daftar Bacaan
1. Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2001. Jilbab Wanita Muslimah Menurut
Al-Qur`an dan As Sunnah (Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah fi Al-Kitab wa
As-Sunnah). Alih Bahasa Hawin Murtadlo & Abu Sayyid Sayyaf. Cetakan
ke-6. (Solo : At-Tibyan).
2. ———-. 2002. Ar-Radd Al-Mufhim Hukum Cadar (Ar-Radd Al-Mufhim ‘Ala Man
Khalafa Al-‘Ulama wa Tasyaddada wa Ta’ashshaba wa Alzama Al-Mar`ah bi
Satri Wajhiha wa Kaffayha wa Awjaba). Alih Bahasa Abu Shafiya. Cetakan
ke-1. (Yogyakarta : Media Hidayah).
3. Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1998. Emansipasi Adakah dalam Islam Suatu
Tinjauan Syariat Islam Tentang Kehidupan Wanita. Cetakan ke-10. (Jakarta
: Gema Insani Press).
4. Ali, Wan Muhammad bin Muhammad. Al-Hijab. Alih bahasa Supriyanto Abdullah. Cetakan ke-1. (Yogyakarta : Ash-Shaff).
5. Ambarwati, K.R. & M. Al-Khaththath. 2003. Jilbab Antara Trend dan Kewajiban. Cetakan Ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
6. Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al-Mu’jamul Wasith. Cet. 2. (Kairo : Darul Ma’arif)
7. An-Nabhani, Taqiyuddin. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam. Cetakan ke-3. (Beirut : Darul Ummah).
8. Ath-Thayyibiy, Achmad Junaidi. 2003. Tata Kehidupan Wanita dalam Syariat Islam. Cetakan ke-1. (Jakarta : Wahyu Press).
9. Bin Baz, Syaikh Abdul Aziz et.al. 2000. Fatwa-Fatwa Tentang
Memandang, Berkhalwat, dan Berbaurnya Pria dan Wanita (Fatawa An-Nazhar
wa al-Khalwah wa Al-Ikhtilath). Alih Bahasa Team At-Tibyan. Cetakan
ke-5. (Solo : At-Tibyan).
10. Taimiyyah, Ibnu. 2000. Hijab dan Pakaian Wanita Muslimah dalam
Sholat (Hijab Al-Mar`ah wa Libasuha fi Ash-Shalah). Ditahqiq Oleh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Alih Bahasa Hawin Murtadlo. Cetakan
ke-2. (Solo : At-Tibyan).
11. ———- et. al. 2002. 5 Risalah Hijab Kumpulan Fatwa-Fatwa Tentang
Pakaian, Hijab, Cadar, Ikhtilath, Berjabat Tangan, dan Khalwat (Majmu’
Rasail fi Al Hijab wa As-Sufur). Alih Bahasa Muzaidi Hasbullah. Cetakan
ke-1. (Solo : Pustaka Arafah).
12. Qonita, Arina. 2001. Jilbab dan Hijab. Cetakan ke-1. (Jakarta : Bina Mitra Press
Langganan:
Postingan (Atom)