Dakwah sebagai sebuah panggilan jiwa, menjadi kewajiban setiap muslim. Mereka yang sadar terhadap dakwah membutuhkan banyak pengorbanan besar. Tak hanya waktu, melainkan segenap jiwa, harta dan potensi terbaik dirinya. Seorang pengusaha akan berdakwah dengan hartanya. Da’i berjiwa penulis menginfakkan tulisan sebagai sumbangsih mencerdaskan umat. Seorang khatib menggerakkan lisan untuk menyerukan dakwah bil haq dari atas mimbar.
Terlepas apapun profesi seorang da’i,
dia tak menafikan kebutuhan harta. Seorang manusia berakal sehat memerlukan
harta sebagai lambang kecintaan duniawi. Tapi tidak bagi seorang pendakwah,
harta baginya adalah jalan menuju surga. Kita bisa belajar sejarah sahabat
Rasulullah saw bagaimana mereka menginfakkan hartanya. Utsman tak segan
berinfak 100 ekor unta. Abu Bakar ra mengambil keputusan “berani”. Beliau
menyerahkan semua hartanya kepada Rasulullah. Saking herannya, Rasulullah
menanyakan “Apa yang kau tinggalkan untuk keluargamu?”. Beliau menjawab “ Allah
dan Rasulnya”. Umar sendiri tak ketinggalan menyerahkan sebagian harta demi
kepentingan jihad fisabilillah.
Miskinkah para sahabat? Tidak bahkan
sejarah mencatat kekayaan dinilai seujung kuku. Mushab Bin Umair mencontohkan
bagaimana harta tidak dapat membeli iman. Siapa menyangka, sosok tampan dan
hartawan mau meninggalkan kemewahan duniawi. Sentuhan iman dan Islam melahirkan
hidayah bagi perjalanan hidup Mushab. Usai mendengar keagungan Islam, meluncur
ucapan syahadat dari bibirnya. Sirnalah kemewahan harta, dan jadilah
Mushab jatuh miskin. Tapi kemiskinan tak melunturkan niatnya berdakwah. Allah
SWT mengangkat beliau sebagai duta besar muslim pertama untuk mensyiarkan
Islam.