Segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir
zaman.
Akal dan wahyu sama-sama merupakan karunia Allah. Akal dan wahyu bagaikan
“saudara sesusuan” (ukht al-radi’ah) yang bisa dibedakan tapi tidak mungkin
dipisahkan. Akal memerlukan wahyu karena ada sesuatu di dunia ini, khususnya
yang berkaitan dengan alam gaib (metafisika), yang tak bisa dicapai akal.
Sementara wahyu juga memerlukan akal karena tanpa akal, wahyu tak bisa
dipahami.
Akal
Kata akal
berasal dari bahasa Arab al-‘aql,
al-‘aql adalah berasal dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah
“ fahima wa tadabbaro “
yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang). Pengertian
lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat
cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan.
QS.Al-Haj ayat 46
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ
لَهُمۡ قُلُوبٌ۬ يَعۡقِلُونَ بِہَآ أَوۡ ءَاذَانٌ۬ يَسۡمَعُونَ بِہَاۖ
فَإِنَّہَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَـٰرُ وَلَـٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى
ٱلصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka
bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya
bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.
QS. Al-Baqarah ayat 242
كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ
ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُ
“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu
ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya] supaya kamu memahaminya”
Fungsi dari
akal yang paling besar yaitu ntuk mengetahui hakikat dari kebenaran. Kebenaran
sendiri tidak akan dapat tercapai jika hanya menggunakan akal tapi juga harus
berpegang teguh pada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah swt.
Ajaran Agama Islam memberikan kedudukan yang
mulia terhadap akal, Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum
sehingga yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Islam menjadikan akal sebagai
salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta,
jiwa dan kehormatan. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah
berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا
ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَـٰمُ رِجۡسٌ۬ مِّنۡ عَمَلِ
ٱلشَّيۡطَـٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ
لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
[meminum] khamar, berjudi, [berkorban untuk] berhala, mengundi nasib dengan
panah [1], adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.
Urgensi Akal dalam Syari’at Islam
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi
yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa
point berikut ini.
[Pertama]
Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya
mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.
وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
“Dan
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)
[Kedua] Akal merupakan syarat yang
harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari
Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima
taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ
النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ
الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
“Pena
diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia
bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia
kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)
[Ketiga] Allah
Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan Allah
pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.
[Keempat] Penyebutan
begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur
dan tafakkur, seperti la’allakum
tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah
kamu tidak berpikir).
Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang
yang berakal/berfikir),
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ
وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا
بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)
Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi
dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat
membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal
itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun
tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya,
barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.
Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi
jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada
cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui
sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan
menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri.
Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana
penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya
iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya
mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau
mengetahui sesuatu.” (Majmu’
Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi
jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang memiliki
beberapa arti seperti kecepatan dan bisikan. Wahyu adalah nama bagi sesuatu
yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabi-Nya. Wahyu
adalah sesuatu yang dimanifestasikan, diungkapkan. Ia adalah pencerahan, sebuah
bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran. Setiap gagasan yang di
dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia memperkaya
pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia.
Allah sendiri telah memberikan gambaran yang
jelas mengenai wahyu ialah seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an surat
al-Maidah ayat 16 yaitu:
هۡدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٲنَهُ ۥ
سُبُلَ ٱلسَّلَـٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ
وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬
مُّسۡتَقِيمٍ۬
“Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki
orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan
Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang
lurus”
-
KEDUDUKAN WAHYU DAN AKAL DALAM PEMIKIRAN KEISLAMAN
Dalam
perkembangan Islam akal memiliki peranan penting dalam segala bidang termasuk
dalam bidang agama. Dalam membahas masalah-masalah agama para ulama tidak hanya
bergantung pada wahyu semata tetapi banyak juga yang menggunakan pendapat atau
pemikiran-pemikiran dari ulama lain.
Peranan
akal dalam masalah-masalah keagamaan dijumpai dalam bidang fikih, teologi, dan
fikih dan tafsir.
- Fikih
Untuk
memahami dan mengerti sesuatu diperlukan akal. Fikih berasal dari kata faqiha
yang mengandung makna faham dan mengerti. Fikih merupakan ilmu yang
membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan
hukum,yakni ayat-ayat ahkam. Untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat tersebut
diperlukan al-ijtihad. Ijtihad mengandung arti usaha keras dalam
melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti usaha keras dalam
bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari
sumber-sumbernya. Ijtihad banyak dipakai dan penting kedudukannya dalam fikih.
Dalam fikih juga dikenal istilah al-ra’y yang berarti pendapat atau
opini. Al-ra’y disini dihubungkan dengan akal dan berarti memikirkan dan
merenungkan. Selain itu ada juga istilah al-qias yang berarti mengukur
sesuatu dengan ukuran tertentu dan dalam istilah fikih kata al-qias mengandung
arti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan hukum sesuatu
yang lain yang ada nas hukumnya atas dasar persamaan sebabnya. Untuk menentukan
adanya persamaan itu diperlukan pemikiran.
- Ilmu
Tahwid atau Teologi
Jika
dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum islam yang dipermasalahkan, dalam
ilmu tahwid permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Perdebatan antar
aliran-aliran teologi islam yang terjadi mempermasalahkan kesanggupan akal dan
fungsi wahyu terhadap dua permasalahan pokok dalam agama, yaitu adanya Tuhan
serta kebaikan dan kejahatan.
Menurut
kaum Mu’tazilah adanya Tuhan, kebaikan dan kejahatan dapat diketahui dengan
akal.
Secara
singkatnya berbicara akal dan wahyu dalam konsepsi keislaman di bagi menjadi
dua perspektif
- Aliran
mutakallimun yang akan menelorkan ilmu fiqih, sorof dan nahwu menganggap
bahwa posisi wahyu menjadi bangunan utama, baik berbicara mengenai baik
dan buruk, dosa dan pahala dll.
- Adapun
para filosof yang akan melahirkan konsep mengenai ontologi, epistemologi
dan fenomenologi menganggap bahwa peran akal menjadi basis utama dalam
melihat sebuah fenomena yang terjadi.
Namun
menurut al-kindi bahwa akal dan wahyu bersifat komplementer ataupun saling
melengkapi. Dan juga pendapat ar-razi dalam memandang keberadaan akal dan
wahyu.
QS.
An-nahl ayat 12
وَسَخَّرَ
لَڪُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَۖ وَٱلنُّجُومُ
مُسَخَّرَٲتُۢ بِأَمۡرِهِۦۤۗ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬
يَعۡقِلُونَ
Dan
Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan [untukmu] dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar ada tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi kaum yang memahami [nya]
Dengan
potensi akal, manusia dapat mencari kebenaran walaupun akal bukan satu-satunya
sumber kebenaran. Kebenaran sebenarnya dapat dicapai melalui pendekatan ilmiah
dan filosofis dan sebagai pemandu kebenaran tersebut di butuhkan wahyu, yang
sebelumnya harus di percayai sebagai sumber kebeneran dari Tuhan. Antara akal
dan wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan satu sama lainny berhubungan
erat dan tidak mungkin terjadi antithesis.
Akal dengan kekuatannya mampu menguak ilmu pengetahuan yang rasional, sedangkan wahyu melengkapinya dengan objek yang tidak hanya rasional tetapi juga supra rasional. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam pendidikan Islam memiliki dua jalur, yaitu jalur wahyu ilahi dan jalur karya ilahi. Yang keduanya saling menjelaskan dan menafsirkan.
Akal dengan kekuatannya mampu menguak ilmu pengetahuan yang rasional, sedangkan wahyu melengkapinya dengan objek yang tidak hanya rasional tetapi juga supra rasional. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam pendidikan Islam memiliki dua jalur, yaitu jalur wahyu ilahi dan jalur karya ilahi. Yang keduanya saling menjelaskan dan menafsirkan.
Kesimpulan
Akal adalah
kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang merupakan manifestasi internal dari
keberadaan Nabi. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya
baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umatnya. Pengetahuan
adalah hubungan antara subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang
telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas. Akal dan wahyu digunakan
untuk mendapatkan pengetahuan bagi umat manusia.
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka, di sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka, di sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.
Secara ontologis kebebasan berpikir sebagai
kinerja akal tidak terikat dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir
itu secara aksiologis dibatasi dengan tanggungjawab dan moral. Hanya sebagaian
filosof Barat seperti Galileo Galilie dan para pengikutnya yang membebaskan
manusia mengembarakan akal pikirnya sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tidak ada
sangkut pautnya dengan nilai, sehingga mereka berpendapat bahwa ilmu sebagai
produk kinerja akal adalah bebas nilai secara total.
Menurut filsafat Islam dimana dasar pijakannya adalah hikmah (fisafat) dan al-Qur’an, akal yang meretaskan budaya berpikir dalam implementasinya, sebagaimana dicontohkan oleh nabi, adalah tidak bebas nilai. Begitu pula ilmu sebagai produk kerja akal melalui proses berpikir tentu juga tidak bebas nilai. Di sinilah antara wahyu (moral agama) yang sarat nilai harus tidak boleh berpisah dengan akal. Secara etika ilmu harus dapat mensejahterakan kehidupan bukan sebaliknya. Oleh karenanya akal sebagai sarana menemukan kebenaran berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab agama.
Menurut Imam al-Ghazali, akal betapa pun
hebatnya harus mau dikontrol oleh wahyu. Kebenaran yang dicapai oleh akal
bersifat relatif-spikulatif, sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak karena
datangnya dari Yang Maha Benar dan Maha Mutlak.
0 comments:
Posting Komentar