Islam Memelihara Nasab
Anak adalah rahasia orang tua dan
pemegang keistimewaannya. Waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang,
dan sewaktu ia pulang ke rahmatullah, anak sebagai pelanjut dan lambang
keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan
orang tua, termasuk juga ciri-ciri khas, baik maupun buruk, tinggi maupun
rendah. Dia adalah belahan jantungnya dan potongan dari hatinya.
Justru itu Allah mengharamkan zina
dan mewajibkan kawin, demi melindungi nasab, sehingga air tidak tercampur, anak
bisa dikenal siapa ayahnya dan ayah pun dapat dikenal siapa anaknya.
Dengan perkawinan, seorang isteri
menjadi hak milik khusus suami dan dia dilarang berkhianat kepada suami, atau
menyiram tanamannya dengan air orang lain. Oleh karena itu setiap anak yang
dilahirkan dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak suami itu, tanpa
memerlukan pengakuan atau pengumuman dari seorang ayah; atau pengakuan dari
seorang ibu, sebab setiap anak adalah milik yang seranjang. Begitulah menurut
apa yang dikatakan oleh Rasulullah s.a.w
Ayah Tidak Boleh Mengingkari Nasab Anaknya
Dari sini seorang suami tidak boleh
mengingkari anak yang dilahirkan oleh isterinya yang seranjang dengan dia dalam
perkawinan yang sah. Pengingkaran seorang suami terhadap nasab anaknya akan
membawa bahaya yang besar dan suatu aib yang sangat jelek, baik terhadap isteri
maupun terhadap anaknya itu sendiri. Justru itu seorang suami tidak boleh
mengingkari anaknya karena suatu keraguan, atau dugaan atau karena ada berita
tidak baik yang mendatang.
Adapun apabila seorang isteri
mengkhianati suami dengan beberapa bukti yang dapat dikumpulkan dan beberapa
tanda (qarinah) yang tidak dapat ditolak, maka syariat Islam tidak membiarkan
seorang ayah harus memelihara seorang anak yang menurut keyakinannya bukan
anaknya sendiri; dan memberikan waris kepada anak yang menurut keyakinannya
tidak berhak menerimanya; atau paling tidak anak yang selalu diragukan
identitasnya sepanjang hidup.
Untuk memecahkan problem ini, Islam
membuat jalan ke luar, yang dalam ilmu fiqih dikenal dengan nama li'an. Maka
barangsiapa yakin atau menuduh, bahwa isterinya telah membasahi ranjangnya
dengan air orang lain kemudian si isteri itu melahirkan seorang anak padahal
tidak ada bukti yang tegas, maka waktu itu suami boleh mengajukan ke
pengadilan, kemudian pengadilan mengadakan mula'anah (sumpah dengan melaknat)
antara kedua belah pihak, yang penjelasannya sebagaimana diterangkan dalam
al-Quran:
"Para suami yang menuduh isterinya padahal mereka tidak
mempunyai saksi melainkan dirinya sendiri, maka kesaksian tiap orang dari
mereka ialah empat kali kesaksian dengan nama Allah, bahwa ia termasuk
orang-orang yang benar. Sedang yang kelimanya ialah, bahwa laknat Allah akan
menimpa kepadanya jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Dan dihilangkan
dari perempuan itu siksaan (dera) lantaran dia bersaksi empat kali kesaksian
dengan nama Allah, bahwa dia (laki-laki) termasuk orang-orang yang berdusta.
Sedang yang kelimanya: bahwa murka Allah akan menimpa kepadanya (perempuan)
jika dia (laki-laki) itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nur: 6-9)
Sesudah itu keduanya diceraikan
untuk selama-lamanya, dan anaknya ikut kepada ibunya.
Kalau seorang ayah sudah tidak
dibolehkan memungkiri nasab anak yang dilahirkan di tempat tidurnya, maka
begitu juga dia tidak dibenarkan mengambil anak yang bukan berasal dari
keturunannya sendiri.
Orang-orang Arab di masa jahiliah dan
begitu juga bangsa-bangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan
nasabnya dengan sesukanya, dengan jalan mengambil anak angkat.
Seorang laki-laki boleh memilih
anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak
tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama
senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.
Mengangkat seorang anak seperti ini
sedikitpun tidak dilarang, kendati si anak yang diangkat itu jelas jelas
mempunyai ayah dan nasabnya pun sudah dikenal.
Islam datang, sedang masalah
pengangkatan anak ini tersebar luas di masyarakat Arab, sehingga Nabi Muhammad
sendiri mengangkat seorang anak, yaitu Zaid bin Haritsah sejak zaman jahiliah.
Zaid waktu itu seorang anak muda yang ditawan sejak kecil dalam salah satu
penyerbuan jahiliah, yang kemudian dibeli oleh Hakim bin Hizam untuk diberikan
bibinya yang bernama Khadijah, dan selanjutnya diberikan oleh Khadijah kepada
Nabi Muhammad s.a.w. sesudah beliau kawin dengan dia.
Setelah ayah dan pamannya mengetahui
tempatnya, kemudian mereka minta kepada Nabi, tetapi oleh Nabi disuruh memilih.
Namun Zaid lebih senang memilih Nabi sebagai ayah daripada ayah dan pamannya
sendiri. Lantas oleh Nabi dimerdekakan dan diangkatnya sebagai anaknya sendiri
dan disaksikan oleh orang banyak.
Sejak itu Zaid dikenal dengan nama
Zaid bin Muhammad, dan dia termasuk pertama kali bekas hamba yang memeluk
Islam.
Islam berpendapat secara positif,
bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita, suatu
pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Dia
dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dengan dalih sebagai
mahram padahal hakikatnya mereka itu samasekali orang asing. Isteri dari ayah
yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara
perempuannya atau bibinya. Dia sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya
itu.
Anak angkat ini dapat menerima waris
dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima. Oleh karena
itu tidak sedikit keluarga yang sebenarnya merasa dengki terhadap orang baru
yang bukan dari kalangan mereka ini yang merampas hak milik mereka dan
menghalang pusaka yang telah menjadi harapannya.
Kedengkian ini banyak sekali
membangkitkan hal-hal yang tidak baik, dapat menyalakan api fitnah dan memutus
famili dan kekeluargaan.
Justru itu al-Quran menghapus aturan
jahiliah ini dan diharamkan untuk selama-lamanya serta dihapusnya seluruh pengaruh-pengaruhnya.
Firman Allah:
"Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu itu sebagai
anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu dengan
mulut-mulutmu, sedang Allah berkata dengan benar dan Dialah yang menunjukkan ke
jalan yang lurus. Panggillah mereka (anak-anak) itu dengan bapa-bapa mereka,
sebab dia itu lebih lurus di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahui bapa-bapa
mereka, maka mereka itu adalah saudaramu seagama dan kawan-kawanmu."
(al-Ahzab: 4-5)
Baiklah kita renungkan ungkapan al-Quran
yang bersih ini, yaitu kalimat: "Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu
itu sebagai anak-anakmu sendiri, yang demikian itu adalah omongan-omonganmu
dengan mulut-mulutmu."
Kalimat ini memberi pengertian,
bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omongan kosong, di belakangnya tidak ada
realita sedikitpun.
Perkataan lidah tidak dapat
mengganti kenyataan dan tidak dapat mengubah realita, tidak dapat menjadikan
orang luar sebagai kerabat, dan orang asing sebagai pokok nasab, dan tidak pula
anak angkat sebagai anak betul-betul.
Perkataan mulut tidak dapat
mengalirkan darah ke dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapaan ke
dalam hati seseorang, dan tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa
kehalusan sebagai anak betul; dia tidak dapat mewarisi
keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga,
baik jasmaniah, intelek maupun kejiwaannya.
Islam telah menghapuskan seluruh
pengaruh yang ditimbulkan oleh aturan ini, misalnya tentang warisan dan
dilarangnya kawin dengan bekas isteri anak angkat.
Dalam masalah warisan, karena tidak
ada hubungan darah, perkawinan dan kerabat yang sebenarnya, maka oleh al-Quran
hal itu samasekali tidak bernilai dan tidak menjadi penyebab mendapat warisan.
Bahkan al-Quran mengatakan:
"Keluarga sebagian mereka lebih berhak terhadap
sebagian, menurut kitabullah." (al-Anfal: 75)
Dan dalam hal perkawinan, al-Quran
telah mengumandangkan, bahwa di antara perempuan-perempuan yang haram dikawin
ialah bekas isteri anak betul-betul, bukan bekas isteri anak angkat.
Firman Allah:
"Dan bekas isteri-isteri anakmu yang berasal dari
tulang rusukmu sendiri." (an-Nisa': 24)
Oleh karena itu seseorang dibenarkan
kawin dengan bekas isteri anak angkatnya, karena perempuan tersebut pada
hakikatnya adalah bekas isteri orang lain. Justru itu tidak salah kalau dia
mengawininya apabila telah dicerai oleh suaminya.
Persoalan ini tidak begitu mudah,
sebab masalah anak angkat sudah menjadi aturan masyarakat dan berakar dalam
kehidupan bangsa Arab. Oleh karena itu dalam kebijaksanaan Allah untuk
menghapus dan memusnahkan pengaruh-pengaruh perlembagaan ini tidak cukup dengan
omongan saja, bahkan dihapusnya dengan omongan dan sekaligus dengan praktek.
Hikmah kebijaksanaan Allah dalam
persoalan ini telah memilih Rasulullah s.a.w. sebagai pelakunya, untuk
menghilangkan setiap keragu-raguan dan demi menolak setiap keberatan orang
mu'min tentang dibolehkannya mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya; dan
supaya mereka yakin, bahwa apa yang disebut halal, yaitu semua yang dihalalkan
Allah; dan apa yang disebut haram, yaitu semua yang diharamkan Allah.
Zaid bin Haritsah yang kita kenal
sebagai Zaid bin Muhammad, telah dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy sepupu
Nabi sendiri. Tetapi karena kehidupan mereka berdua selalu goncang dan Zaid
sendiri sudah banyak mengadu kepada Nabi tentang keadaan isterinya, sedang Nabi
sendiri juga mengetahui keinginan Zaid untuk mencerainya, dan dengan wahyu Allah,
Zainab akan dikawin oleh Nabi, tetapi kelemahan manusia tempoh-tempoh sangat
mempengaruhi, maka Nabi takut bertemu dengn orang banyak. Oleh karena itu dia
katakan kepada Zaid: "Tahanlah isterimu itu dan takutlah kepada
Allah!"
Di sinilah ayat al-Quran kemudian
turun untuk menegur sikap Nabi. Dan seketika itu beliau menyingsingkan lengan
bajunya untuk tampil ke tengah-tengah masyarakat, guna menghapus sisa-sisa
aturan kuno dan tradisi yang sudah usang yang mengharamkan seseorang mengawini
bekas isteri anak angkatnya yang pada hakikatnya dia adalah orang asing itu.
Maka berfirmanlah Allah:
"Dan (ingatlah) ketika engkau berkata kepada orang yang
telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau juga telah memberi kenikmatan
kepadanya (Zaid bin Haritsah): 'tahanlah untukmu isterimu dan takutlah kepada
Allah', dan engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah tampakkan, dan
engkau takut manusia, padahal Allahlah yang lebih berhak engkau takutinya. Maka
tatkala Zaid memutuskan untuk mencerai Zainab, kami (Allah) kawinkan engkau
dengan dia, supaya tidak menjadi beban bagi orang-orang mu'min tentang bolehnya
mengawini bekas isteri anak-anak angkatnya apabila mereka itu telah memutuskan
mencerainya, dan keputusan Allah pasti terlaksana." (al-Ahzab: 37)
Kemudian al-Quran meneruskan untuk
melindungi pribadi Nabi Muhammad s.a.w. dalam perbuatan ini dan memperkuat
perkenannya serta menghilangkan anggapan dosa karena perbuatannya itu. Maka
berkatalah al-Quran:
"Tidak boleh ada keberatan atas diri Nabi dalam hal
yang telah diwajibkan oleh Allah kepadanya menurut sunnatullah pada orang-orang
yang telah lalu sebelumnya, sebab perintah Allah itu suatu ketentuan yang telah
ditentukan, (yaitu) orang-orang yang menyampaikan suruhan Allah dan mereka
takut kepadaNya, dan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah; dan
kiranya cukuplah Allah sebagai pengira. Tidaklah Muhammad itu ayah bagi
seseorang dari laki-laki kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup bagi
sekalian Nabi, dan Allah Maha Mengetahui tiap-tiap sesuatu." (al-Ahzab:
38-40)
Begitulah pengangkatan anak yang
dihapus oleh Islam; yaitu seorang menisbatkan anak kepada dirinya padahal dia
tahu, bahwa dia itu anak orang lain. Anak tersebut dinisbatkan kepada dirinya
dan keluarganya, dan baginya berlaku seluruh hukum misalnya: bebas bergaul,
menjadi mahram, haram dikawin dan berhak mendapat waris.
Di sini ada semacam pengangkatan
anak yang diakui oleh beberapa orang, tetapi pada hakikatnya bukan pengangkatan
anak yang diharamkan oleh Islam. Yaitu seorang ayah memungut seorang anak kecil
yatim atau mendapat di jalan, kemudian dijadikan sebagai anaknya sendiri baik
tentang kasihnya, pemeliharaannya maupun pendidikannya; diasuh dia, diberinya
makan, diberinya pakaian, diajar dan diajak bergaul seperti anaknya sendiri.
Tetapi bedanya, dia tidak menasabkan pada dirinya dan tidak diperlakukan
padanya hukum-hukum anak seperti tersebut di atas.
Ini suatu cara yang terpuji dalam
pandangan agama Allah, siapa yang mengerjakannya akan beroleh pahala kelak di
sorga. Seperti yang dikatakan sendiri oleh Rasululfah s.a.w. dalam hadisnya:
"Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim,
seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia renggangkan
antara keduanya. (Riwayat Bukhari, Abu Daud dan Tarmizi)
Laqith (anak yangdipungut di jalan)
sama dengan anak yatim. Tetapi untuk anak seperti ini lebih patut dinamakan
Ibnu Sabil (anak jalan) yang oleh Islam kita dianjurkan untuk memeliharanya.
Apabila seseorang yang memungutnya
itu tidak mempunyai keluarga, kemudian dia bermaksud akan memberikan hartanya
itu kepada anak pungutnya tersebut, maka dia dapat menyalurkan melalui cara
hibah sewaktu dia masih hidup, atau dengan jalan wasiat dalam batas sepertiga
pusaka, sebelum meninggal dunia.
_______________________________________________________________________
0 comments:
Posting Komentar