Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarakatuhu...
Bismillaahirrohmaanirrohiim......
Ketenangan
hidup di dunia adalah dambaan setiap orang. Akan tetapi betapa banyak
manusia yang hidupnya penuh dengan kegelisahan, gundah gulana,
kecemasan, ketakutan, adanya kebencian dengan orang lain, dan keadaan
lainnya yang tidak diinginkannya.
Di antara hal terbesar untuk
mendapatkan ketenangan hidup adalah ketika kita hidup di tengah-tengah
manusia dalam keadaan dicintai Allah dan juga dicintai manusia.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut ini telah
menunjukkan kepada kita suatu amalan yang akan mendatangkan kecintaan
Allah dan juga kecintaan manusia kepada kita.
Dari Abul ‘Abbas Sahl bin Sa’d As-Sa’idiy radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Datang
seseorang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu dia berkata,
‘Ya Rasulullah, tunjukkan kepadaku akan suatu amalan yang apabila aku
mengerjakannya niscaya aku dicintai oleh Allah dan dicintai manusia?’
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Zuhudlah
terhadap dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa-apa
yang dimiliki oleh manusia niscaya manusia mencintaimu’.” (Shahih, HR.
Ibnu Majah dan selainnya, lihat Shahiihul Jaami’ no.935 dan
Ash-Shahiihah no.942)
Definisi Zuhud, Hakikat dan Pembagiannya
Zuhud secara bahasa artinya lawan dari cinta dan semangat terhadap dunia.
Ibnul
Qayyim, berkata, “Saya mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,
‘Zuhud adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat,
adapun wara’ adalah meninggalkan apa-apa yang ditakuti akan bahayanya
di akhirat’.” Kemudian beliau mengomentarinya, “Ini adalah definisi
yang paling baik terhadap makna zuhud dan wara’ dan yang paling
mencakupnya.”
Berkata Sufyan Ats-Tsauriy, “Zuhud terhadap dunia
adalah pendek angan-angan, dan bukanlah yang dimaksud zuhud itu dengan
memakan makanan yang keras (buruk) dan memakai (baju) karung.”
Kesimpulannya
bahwasanya hakikat zuhud yang ada di dalam hati adalah dengan
mengeluarkan kecintaan dan semangat terhadap dunia dari hati seorang
hamba, sehingga jadilah dunia itu hanya di tangannya sedangkan
kecintaan Allah dan negeri akhirat ada di dalam hatinya.
Subhaanallaah,
betapa nikmatnya apabila seseorang sudah mempunyai sifat zuhud seperti
ini. Dunia/harta yang dimilikinya hanya sekedar lewat di tangannya
tidak sampai ke hatinya (hatinya tidak menjadi terikat dengannya), dia
salurkan harta tersebut di jalan Allah, dia infaqkan kepada orang yang
membutuhkannya, ibaratnya kran yang mengalirkan air untuk orang lain.
Sedangkan hatinya tetap terikat dengan kecintaan kepada Allah dan
akhirat.
Tidaklah banyaknya harta menjadikan dia bangga dan senang,
akan tetapi ketaatan kepada Allah-lah yang menjadi tolak ukurnya.
Banyak sedikitnya harta bagi orang yang zuhud sama saja.
Ketika
ada seseorang bertanya kepada Al-Imam Ahmad, “Apakah orang kaya bisa
menjadi orang yang zuhud?” Beliau menjawab, “Ya, dengan syarat ketika
banyak hartanya tidak menjadikannya bangga dan ketika luput darinya
dunia dia tidak bersedih hati.”
Al-Imam Ahmad rahimahullah membagi zuhud menjadi tiga tingkatan:
1. Meninggalkan yang haram, yang merupakan zuhudnya orang-orang ‘awwam, dan ini adalah fardhu ‘ain.
2. Meninggalkan kelebihan-kelebihan dari yang halal, dan ini zuhudnya orang-orang yang khusus.
3.
Meninggalkan apa-apa yang dapat menyibukkannya dari (mengingat) Allah,
dan ini adalah zuhudnya orang-orang yang mendalam pengetahuannya
tentang Allah.
Jangan Salah Faham Tentang Zuhud
Bukanlah
makna zuhud itu menolak dunia secara keseluruhan dan meninggalkannya,
karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin
orang-orang yang zuhud mempunyai sembilan orang istri; Nabi Dawud dan
Nabi Sulaiman ‘alaihimas salaam dua nabi yang zuhud, keduanya mempunyai
kerajaan sebagaimana yang Allah sebutkan dalam Al-Qur`an, demikian juga
para shahabat radhiyallaahu ‘anhum yang merupakan orang-orang yang
zuhud, mereka pun mempunyai harta, istri dan anak-anak, dan hal ini
telah dikenal oleh kita semua.
Karena zuhud itu adalah
meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat, adapun hal-hal
yang bermanfaat seperti menikah, mencari nafkah dan lainnya maka ini
semua tidaklah mengurangi zuhudnya selama hatinya tetap terikat dengan
akhirat.
Cinta Akhirat Harus Zuhud Terhadap Dunia
Pertanyaan
yang diajukan oleh orang ini yang terdapat dalam hadits di atas tidak
diragukan lagi adalah suatu pertanyaan yang mempunyai tujuan yang
tinggi, yang akan mendatangkan kecintaan Allah dan kecintaan manusia
kepadanya. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan
dengan sabdanya, “Zuhudlah terhadap dunia” yakni tinggalkanlah apa-apa
yang ada di dunia yang tidak akan memberikan manfaat kepadamu di
akhirat. Dan hal ini jelas mengandung konsekuensi akan adanya kecintaan
terhadap akhirat. Karena sesungguhnya dunia dan akhirat adalah dua hal
yang saling berlawanan, apabila seseorang zuhud kepada salah satunya
maka berarti dia cinta kepada yang lainnya, yakni apabila dia zuhud
kepada dunia maka dia cinta kepada akhirat. Sebaliknya kalau tamak
kepada dunia berarti tidak cinta kepada akhirat.
Zuhud itu
mengharuskan seseorang bersungguh-sungguh dalam mengerjakan
amalan-amalan akhirat dari mengerjakan perintah-perintah dan
meninggalkan larangan-larangan serta meninggalkan apa-apa yang tidak
akan memberikan manfaat kepadanya di akhirat dari perkara-perkara yang
hanya akan menghabiskan waktunya saja dan tidak mengandung manfaat
sedikit pun.
Zuhud Terhadap Yang Apa-apa Dimiliki Manusia
Adapun
amalan yang menyebabkan adanya kecintaan manusia, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan, “Hendaklah engkau zuhud
terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia.” Yaitu hendaklah kita
tidak meminta sesuatu pun kepada manusia ?kecuali kalau memang butuh
dan terpaksa- dan janganlah memperlihatkan kerinduan/keinginan kita
terhadap yang dimiliki manusia, serta janganlah kita mengangkat
pandangan (ta’ajjub) terhadap yang dimiliki manusia.
Jika
demikian keadaannya yaitu kita menjadi orang yang jauh dari keinginan
terhadap yang dimiliki manusia maka ketika itu kita akan dicintai
manusia.
Karena manusia itu apabila ada seseorang yang meminta
sesuatu yang dimilikinya maka hal ini memberatkan dia dan menjadikan
dia merasa tidak suka. Sehingga apabila kita jauh dari hal ini maka
manusia pun akan mencintai kita.
Hakikat Dunia dan Kerendahannya
Di
dalam Al-Qur`an banyak sekali ayat-ayat yang menerangkan akan hakikat
dunia, kerendahannya, kefanaannya, dan hinanya, dan Al-Qur`an juga
menerangkan lawannya yaitu negeri akhirat, di mana akhirat itu kekal
dan lebih baik daripada dunia.
Allah berfirman yang artinya,
“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” [An-Nahl:96]
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kalian serta
berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi
kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada ‘adzab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan
yang menipu.” [Al-Hadiid:20]
Cara-cara Membangun Sikap Zuhud Dalam Diri Kita
Ada beberapa hal yang akan menjadikan kita zuhud terhadap dunia, di antaranya:
1.
Kuatnya iman hamba dan menghadirkan diri seolah-olah menyaksikan
apa-apa yang di sisi Allah, dan menyaksikan kedasyatan hari kiamat,
inilah yang akan menjadikan hilangnya kecintaan terhadap dunia dan
kenikmatannya dari hati hamba, akhirnya dia pun berpaling dari
kelezatannya dan kesenangannya serta mencukupkan diri dengan yang
sedikit saja darinya.
2. Seorang hamba harus merasakan dan
menyadari bahwasanya dunia itu akan menyibukkan hati dari terikat
dengan Allah, dan akan menjadikan seseorang terlambat dari mencapai
tingginya derajat di akhirat, dan bahwasanya seseorang kelak akan
ditanya tentang kenikmatan yang ada padanya, Allah berfirman yang
artinya, “Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang
kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” [At-Takaatsur:8]
3.
Dunia tidak akan didapat oleh seorang hamba sampai dia bersusah payah
dan bersungguh-sungguh untuk mendapatkannya, dia mengerahkan segenap
kemampuannya, tenaganya dan pikirannya, dan kadang-kadang dia pun
mengalami kerendahan ataupun kegagalan dan harus siap bersaing dengan
lainnya. Yang seharusnya dia kerahkan tenaga dan pikirannya tersebut
untuk mencari ilmu agama, berdakwah, berjihad dan beribadah kepada
Allah. Perasaan ini yang dirasakan oleh hamba yang cemerlang hatinya,
akan menjadikan dia bosan terhadap dunia dan beralih kepada sesuatu
yang lebih baik dan kekal yaitu akhirat.
4. Al-Qur`an telah
merendahkan dan menghinakan dunia dan kenikmatannya dan bahwasanya
dunia itu sesuatu yang menipu, bathil, permainan dan sesuatu yang
melalaikan. Dan Allah telah mencela orang yang lebih mengutamakan dunia
di atas akhirat. Semua nash/dalil ini baik yang ada di dalam Al-Qur`an
ataupun As-Sunnah, akan menjadikan seorang mukmin bosan terhadap dunia,
dan dia hanya terikat dengan yang kekal yaitu akhirat
Dari Jabir
bin ‘Abdillah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk
ke pasar dari tempat yang tinggi sedangkan manusia ada di sekitarnya,
lalu beliau melewati seekor bangkai kambing kacang yang kecil kedua
telinganya, kemudian beliau pun mengambilnya dan memegang telinganya
seraya bersabda, “Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan
satu dirham?” Maka mereka pun menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup,
kambing itu pun mempunyai cacat karena kedua telinganya kecil, maka
bagaimana (kami mau membelinya) dalam keadaan kambing itu sudah menjadi
bangkai?! Maka Rasulullah pun bersabda, “Demi Allah, sungguh dunia itu
lebih hina dan rendah di sisi Allah daripada bangkai ini atas kalian.”
(HR. Muslim dalam Kitaabuz Zuhd, lihat Syarhnya 5/814)
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Tidaklah dunia bila
dibandingkan dengan akhirat kecuali seperti jari salah seorang dari
kalian yang dicelupkan ke laut, maka lihatlah apa yang dibawa jari
tersebut!” (Lihat Shahiihul Jaami’ no.5423)
Faidah-faidah hadits ini:
1.
Semangatnya para shahabat radhiyallaahu ‘anhum untuk bertanya kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap hal-hal yang akan
memberikan manfaat kepada mereka.
2. Bahwasanya manusia itu berdasarkan tabi’atnya senang kalau Allah mencintainy
a
dan manusia pun mencintainya, dan dia tidak senang kalau Allah murka
kepadanya dan manusia pun membencinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di dalam hadits ini menjelaskan tentang amalan yang menyebabkan
adanya kecintaan Allah dan kecintaan manusia.
3. Bahwasanya
barangsiapa yang zuhud terhadap dunia niscaya Allah akan mencintainya,
karena zuhud terhadap dunia mengharuskan adanya kecintaan terhadap
akhirat, dan telah lewat penjelasan akan pengertian zuhud yaitu,
“Meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat di akhirat”.
4. Bahwasanya zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki oleh manusia merupakan sebab untuk mendapatkan kecintaan manusia kepada kita.
5.
Sesungguhnya tamak terhadap dunia dan terikat dengannya adalah sebab
yang akan mendatangkan kebencian Allah terhadap hamba sedangkan tamak
terhadap apa-apa yang dimiliki manusia dan menanti-nantikannya
(berharap agar diberi oleh manusia) adalah sebab yang akan mendatangkan
kebencian manusia kepadanya. Maka zuhud terhadap apa-apa yang dimiliki
oleh manusia adalah sebab terbesar yang akan mendatangkan kecintaan
manusia kepadanya.
Dengan zuhud niscaya manusia mendapatkan
ketenangan hidup di dunia dan di akhirat, birahmatillaah. Semoga Allah
menjadikan kita orang-orang yang zuhud terhadap dunia dan zuhud
terhadap apa-apa yang dimiliki manusia. Aamiin. Wallaahu A’lam.
Sumber : Diringkas dari sumber aslinya http://fdawj.atspace.org/awwb/th3/34.htm
Maraaji’:
Qawaa’id wa Fawaa`id minal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.264-268, dan
At-Ta’liiqaat ‘alal Arba’iin An-Nawawiyyah hal.84-85.
--
Mutiara Salafus Shalih:
Para
ulama di muka bumi seperti bintang-bintang di langit. Bila
bintang-bintang itu tampak, maka orang-orang mengambil petunjuk dengan
bintang-bintang itu. Dan bila bintang-bintang itu tidak terlihat oleh
mereka, mereka menjadi bingung. (Abu Muslim Al-Khaulani Rahimahullah)
Akan
lahir dari ilmu: Kemuliaan walaupun orangnya hina, Kekuatan walaupun
orangnya lemah, Kedekatan walaupun orangnya jauh, Kekayaan walaupun
orangnya fakir, dan Kewibawaan walaupun orangnya tawadhu’. (Wahab bin
Munabbih Rahimahullah)
Apabila seseorang menuntut ilmu, maka hal
itu akan terlihat pada khusyu’nya, pandangannya, lisannya, tangannya,
shalatnya, dan zuhudnya. Apabila seseorang meraih salah satu bab ilmu
lalu dia amalkan, hal itu lebih baik baginya daripada dunia dan
seisinya.” (Al-Hasan Al-Bashri Rahimahullah)
Janganlah engkau
merasa sombong terhadap ilmu, karena ilmu adalah lembah-lembah. Yang
manapun engkau tempuh, dia akan mengalahkanmu sebelum engkau
mencapainya. Akan tetapi ambillah ilmu itu bersamaan dengan perjalanan
siang dan malam. Dan janganlah engkau mengambil ilmu sekaligus, karena
barang siapa yang mengambil ilmu sekaligus, akan hilang pula sekaligus.
Akan tetapi ambillah ilmu sedikit demi sedikit, bersamaan dengan
perjalanan siang dan malam. (Az-Zuhri Rahimahulla, dari Yunus bin Yazid)
Pondasi
Al jama'ah adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam, mereka adalah ahlussunah wal jama'ah, siapa saja yang tidak
mengambil ilmu dari mereka sungguh telah sesat dan terjatuh dalam
kebid'ahan. (Al Imam Al Barbahari Rahimahullah)