Bismillahirrohmanirroheem ..
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Qs. Al Israa : 1)
“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Qs. Al Israa : 1)
Setiap
tanggal 27 Rajab biasanya sebagian Umat Islam memperingati peristiwa Isra’ dan
Mi’raj Nabi Muhammad SAW dengan ceramah Agama. Umumnya pula para penceramah
mulai dari tingkat RT sampai Istana Negara menerangkan hikmah peristiwa itu
dengan turunnya perintah sholat 5 waktu berdasarkan sebuah hadits isinya cukup
panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya nomor 234 dari jalan Anas
bin Malik. Namun benarkah sesungguhnya demikian ?
Adapun
hadits tersebut secara riwayat adalah shahih karena terdiri dari para perawi
yang tsiqoh (dipercaya). Namun secara matan (isinya) sebagian
bertentangan dengan Al Quran dan hadits lainnya yang shahih. Maka kedudukan
hadits tersebut adalah dhoif (lemah) dan mualal (sisipan) karena isinya
diselipkan cerita – cerita Israiliyat dari kaum Bani Israil yang sengaja secara
tersirat ingin mengagungkan bangsa mereka dan Nabi Musa serta mengecilkan peran
Nabi Muhammad beserta pengikutnya.
Kelemahan
hadits tersebut :
- Yang menjadi subjek memperjalankan Rasulullah Muhammad dalam Peristiwa Isra’ (perjalanan) yang bermakna Mi’raj (naik melalui tangga – tangga) adalah Allah Subhanahuta’ala (Qs.17 : 1), Dia yang Maha Berkehendak. Sedangkan dalam hadits tersebut Nabi Musa yang menyuruh Nabi Muhammad untuk naik – turun dari langit sebanyak sembilan kali guna mendapat pengurangan perintah sholat dari 50 rakaat menjadi 5 rakaat.
- Nampak pula dalam kisah palsu ini seolah Nabi Musa begitu perkasanya dan berilmu sehingga mampu mendikte Allah sehingga menuruti pandangan Musa alaihissalam dalam hal perintah sholat.
- Hadits ini menerangkan proses perintah sholat kepada Nabi Muhammad sedangkan kewajiban sholat sudah ditetapkan Allah pada tahun awal Kenabian dengan turunnya surah al Muzammil ayat 1 – 9, jauh sebelum turunnya Surah Al Isra pada tahun ke empat Kerasulan.
- Keganjilan tampak jelas dalam hadit ini, bahwa sebelum menuju langit Rosulullah sholat dua rakaat di Baitul Maqdis, sedangkan perintah sholat belum diterima.
- Dalam hadits ini menggambarkan bahwa Para Nabi yang sudah wafat sudah berada di langit. Sedangkan seluruh Manusia termasuk para Nabi yang sudah wafat berada di alam Qubur / Barzakh / dinding yang membatasi Alam Dunia dan Akhirat. Ulama menyebutnya alam genggaman Allah atas dasar Surah Azzumar ayat 42 menunggu datangnya Hari Berbangkit (Qs. 18 : 47)
“Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum
mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan
kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi
kaum yang berfikir”. (Qs. 39:42)
dan
(ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan kamu
akan dapat melihat bumi itu datar dan Kami kumpulkan seluruh manusia, dan tidak
Kami tinggalkan seorangpun dari mereka.
(Qs. 18 : 47)
- Nabi Muhammad adalah semulia para Nabi. Beliau tidak pernah membantah atau minta dispensasi (pengurangan) tugas dari Allah. Sedangkan yang biasa menawar dan membantah perintah Allah dan rasulNya sejak dahulu adalah orang kafir dari Bani Israil. Fakta ini dapat kita temukan dalam nash Al Quran dan Hadits yang shahih. Maka mustahil rosul kita mengadakan tawar menawar kepada Musa apalagi kepada Allah. Sedangkan seluruh rosul telah berjanji kepada Allah untuk beriman dan menolong misi Muhammad Rasulullah (Qs. 3:81)
dan
(ingatlah), ketika Allah mengambil Perjanjian dari Para nabi: "Sungguh,
apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan Hikmah kemudian datang
kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan
sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya". Allah berfirman:
"Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian
itu?" mereka menjawab: "Kami mengakui". Allah berfirman:
"Kalau begitu saksikanlah (hai Para Nabi) dan aku menjadi saksi (pula)
bersama kamu".
Demikianlah
sebagian tinjauan kritis terhadap sebagian isi hadits tentang Mi’raj, tanpa
menafikan hadits lainnya yang menceritakan kebenaran peristiwa Isra’ dan
Mi’raj. Selanjutnya insyaAllah kita akan meninjau peristiwa Isra’ dan Mi’raj
ini menurut dalil yang shahih.
Rute perjalanan Isra’ sebenarnya adalah
dari Masjidil Haram, lalu naik ke Sidrathul Muntaha sampai ke hadirat Allah,
kemudian turun ke Baitul Maqdis (tanpa disaksikan manusia), dan terakhir
kembali ke Masjidil Haram (disaksikan kafilah sebagai bukti) dalam waktu
sebagian malam. Jadi bukan seperti umumnya difahami dari Masjidil Haram ke
Masjidil Aqsho, baru kemudian ke langit dan kembali lagi Masjidil Haram.
Lafadz min (dari)
bertemu dengan ilaa (sampai dengan) pada Surah Al Isra’ ayat 1 bermakna
batas lingkaran area yang diberkahi Allah untuk kepentingan Mi’raj (naik). Berkah
di sini maknanya pengkondisian khusus bagi seorang manusia pilihan agar mampu
melakukan perjalanan luar biasa yang mustahil ditempuh manusia biasa dengan
tanpa “sarana” dan wahana khusus dariNya. Allah mengutus Malaikat Jibril yang
dicipta dari cahaya (nur) untuk menarik sinar – sinar kosmik seluas wilayah
yang diberkahi tersebut seolah dapat kita gambarkan seperti terowongan dari
bumi menuju langit guna melindungi jasad Nabi kita selama perjalanan. Kemudian
Jibril juga membawa “wahana” berupa Bouraq (dari kata barqun = kilat)
yang terdiri dari meta energi untuk tenaga pendorong Muhammad Rasulullah
menuju ke langit dengan kecepatan melebihi kilat.
Maka lafadz min (dari)
bertemu dengan ilaa (sampai dengan) pada Surah Al Isra’ ayat 1 bermakna
batas area yang diberkahi Allah untuk kepentingan Mi’raj (naik) bukan jarak
tempuh awal peristiwa itu. Jika lafadz ilaa bermakna jarak lurus, maka
dapat kita lihat contohnya dalam Surah Al Maidah ayat 6 :
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, …
Maka peristiwa Mi’raj Nabi merupakan
tanda pengetahuan yang besar bagi umat Muhammad untuk menggugah aqal lalu
menggali kaidah ilmu Alam untuk kepentingan ibadah dan kemaslahatan duniawiyah
…agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (Qs. Al
Israa : 1)
Berarti pula Islam adalah Din yang
Maha Tinggi karena memiliki Kitab yang sempurna dan menjadi rujukan pengetahuan
bagi semesta Alam. Maka secara garis besar, peristiwa Isra’ dan Mi’raj sengaja
ditetapkan Allah guna Dia membuktikan kepada NabiNya Muhammad SAW dan kepada
muttabi’ rosul akan kebenaran Al Quran sebagai Ayatul Qubro (bukti yang
besar) dariNya. Dimana seluruh kunci pengetahuan semesta alam telah Dia
letakkan di dalam KitabNya yang mulia yang tidak akan habis digali dan di kaji
isinya sampai akhir zaman.
“(Al
Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran
bagi orang-orang yang bertakwa”.
(Qs.3:138).
“dan
seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan
habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah[1183]. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
(Qs.31:27)
Wallahu’alam
0 comments:
Posting Komentar