Revival Of Islamic Faith Foundation
News Update :

Kajian

Bantahan

Fiqih

Snouck Hurgronje; Bapak Orientalis Imperialis yang Hafal Al Quran

21 Januari 2013

Nama lengkapnya adalah Christiaan Snouck Hurgronje; seorang orientalis Belanda terkenal dan ahli politik imperialis. Lahir pada 8 Februari 1857 di Oosterhout dan meninggal pada 26 Juni 1936 di Leiden. Ia merupakan anak keempat pendeta J.J.

Snouck Hurgronje dan Anna Maria, putri pendeta Christiaan de Visser. Perkawinan kedua orang tuanya didahului oleh skandal hubungan gelap sehingga mereka dipecat dari gereja Hervormd di Tholen (Zeeland) pada 3 Mei 1849.


Seperti ayah, kakek, dan kakek buyutnya yang betah menjadi pendeta Protestan, Snouck sempat bercita-cita ingin menjadi seorang pendeta. Oleh karena itu, pada 1874 ia memasuki Fakultas Teologi di Universitas Leiden. Setelah lulus sarjana muda pada 1878, Snouck melanjutkan ke Fakultas Sastra Jurusan Sastra Arab di Universitas yang sama. Ia berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Sastra Semit pada 1880 dengan disertasi berjudul Het Mekkansche Feest (Perayaan Mekah). Beberapa orientalis terkenal menjadi guru dan sahabat Snouck serta sangat mempengaruhi pandangannya tentang Islam dan politik imperialis. Mereka antara lain adalah Abraham Kuenen, C.P. Tieles, L.W.E. Rauwenhoff, M.J. de Goeje, Ignaz Goldziher, Theodor Nöldeke, dan R.P.A. Dozi.


Untuk memperdalam pengetahuan tentang Islam dan bahasa Arab, pada 1884 Snouck pergi ke Mekah. Di hadapan para ulama, ia menyatakan masuk Islam dan memakai nama Abdul Ghaffar. Ia mengadakan hubungan langsung dengan para pelajar dan ulama yang berasal dari Hindia Belanda. Pengetahuannya tentang Islam memang cukup luas. Ia sangat menguasai bahasa Arab, bahkan juga hapal Al-Qur’an. Kelak ketika bertugas di Hindia Belanda, banyak pribumi muslim memberinya gelar Syaikhul Islam Tanah Jawi karena terkagum dengan ilmunya dan menyangkanya benar-benar sebagai muslim. Padahal, menurut P. Sj. Van Koningsveld, keislaman Snouck Hurgronje hanyalah tipu muslihat. 


Karena sering menghadapi perlawanan jihad dari umat Islam, pemerintah kolonial Hindia Belanda pada 1889 mendatangkan Snouck Hurgronje ke Indonesia. Mereka mengangkatnya sebagai penasihat untuk urusan-urusan Arab dan pribumi. Tugasnya adalah melakukan penyelidikan mengenai hakikat agama Islam di Indonesia dan memberikan nasihat kepada pemerintah mengenai urusan-urusan agama Islam.


Deislamisasi dan Imperialisme
Sesuai dengan tugasnya, Snouck merumuskan kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menangani masalah Islam. Ia membedakan Islam dalam arti “ibadah” dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Ia membagi masalah Islam atas tiga kategori.

Pertama, dalam semua masalah ritual keagamaan atau aspek ibadah, rakyat Indonesia harus dibiarkan bebas menjalankannya. Snouck menyatakan bahwa pemerintah Belanda yang ”kafir” masih dapat memerintah Indonesia sejauh mereka dapat memberikan perlakuan yang adil dan sama-rasa sama-rata, bebas dari ancaman dan despotisme.

Kedua, sehubungan dengan lembaga-lembaga sosial Islam atau aspek muamalat, seperti perkawinan, warisan, wakaf, dan hubungan-hubungan sosial lain, pemerintah harus berupaya mempertahankan dan menghormati keberadaannya.

Ketiga, dalam masalah-masalah politik, Snouck menasihati pemerintah untuk tidak menoleransi kegiatan apa pun yang dilakukan kaum Muslim yang dapat menyebarkan seruan-seruan Pan-Islamisme atau menyebabkan perlawanan politik atau bersenjata menentang pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini, Snouck menekankan pentingnya politik asosiasi kaum Muslim dengan peradaban Barat. Cita-cita seperti ini mengandung maksud untuk mengikat jajahan itu lebih erat kepada penjajah dengan menyediakan bagi penduduk jajahan itu manfaat-manfaat yang terkandung dalam kebudayaan pihak penjajah dengan menghormati sepenuhnya kebudayaan asal (penduduk).

Agar asosiasi ini berjalan dengan baik dan tujuannya tercapai, pendidikan model Barat harus dibuat terbuka bagi rakyat pribumi. Sebab, hanya dengan penetrasi pendidikan model Baratlah pengaruh Islam di Indonesia bisa disingkirkan atau setidaknya dikurangi. Dalam bukunya, Nederland en de Islam, Snouck menyatakan, “Opvoeding en onderwijs zijn in staat de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren”. Artinya, “Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan kaum Muslim dari genggaman Islam.” (hlm. 79)

Melalui pendidikan itu, pemikiran Snouck tentang Islam disebarkan. Seperti gurunya, Ignaz Goldziher, Snouck mengingkari turunnya wahyu kepada Rasulullah Muhammad SAW. Ia bahkan menuduh Al-Qur’an sebagai hasil saduran Muhammad dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. (Mohammedanism, hlm. 30-31) Snouck juga melecehkan syariat Islam. Ia menyatakan dalam Nederland en de Islam (hlm. 61) bahwa syariat Islam hanya cocok untuk peradaban abad pertengahan; bukan untuk abad modern. Oleh karena itu, poligami, mempermudah ikatan pernikahan, dan sikap tunduk wanita pada hegemoni laki-laki –misalnya– menghalangi tercapainya kemajuan keluarga yang normal.
Menurut ulama dan sejarawan Indonesia, Abdullah bin Nuh, pemikiran seperti itu sengaja disebarkan untuk menjauhkan pribumi Indonesia yang mengenyam pendidikan Barat dari agama Islam dan syariatnya, sesuai politik imperialis dan tujuan misi Kristen di Indonesia. (Darsun min Hayâh Mustasyriq, hlm. 29). Oleh karena itu, dari sekolah-sekolah Barat yang didirikan pemerintah Hindia Belanda pada masa politik etis muncullah golongan nasionalis sekuler. Mereka sering melecehkan Islam meskipun mengaku sebagai muslim.


Dari Asosiasi Hingga Kristenisasi
Politik asosiasi yang direkomendasikan Snouck Hurgronje dalam kenyataan bertemu dengan politik Kristenisasi. Para misionaris Kristen berpendapat bahwa apabila asosiasi dapat dipenuhi, mereka dapat berusaha agar bisa lebih diterima oleh penduduk. Sebaliknya, pertukaran agama penduduk menjadi Kristen akan menguntungkan negeri Belanda. Sebab setelah masuk Kristen, mereka akan menjadi warga negara yang loyal lahir batin kepada pemerintahan Belanda. (Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, hlm. 26-27)

Snouck menggalakkan pembukaan sekolah-sekolah misi dengan harapan agar penganut Islam secara berangsur beralih ke agama Kristen. Cara demikian ditempuh karena ratusan ribu penduduk merindukan pendidikan, tetapi mereka tidak menyukai pendidikan Kristen untuk anak-anak mereka. Aktivitas mereka pun didasarkan pada politik asosiasi karena ia berpendapat bahwa penyebaran sekolah-sekolah berpola Eropa merupakan satu-satunya sarana untuk mewujudkan impian, sekali pun hal itu dilakukan melalui sekolah-sekolah misi. (Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Jilid X,  hlm. 165-166)

Kepada para zendeling dan misionaris, Snouck mengingatkan bahwa Kristenisasi pribumi tetap harus dalam kerangka politik asosiasi. Snouck mengatakan, “Mereka yang percaya pada Kristenisasi umat Islam pribumi (telah saya katakan mengapa saya tidak ikut berharap) paling tidak harus melihat dalam penyatuan bangsa dan politik para kawula Belanda sebagai langkah pertama menuju ke sana. Oleh karena itu, mereka harus bekerja keras untuk menunjangnya. Memang seperti halnya orang Belanda mana pun, dari sekte dan kelas mana pun, misionaris lebih diterima oleh rekan setanah air kita di Timur, yang berperadaban kita, daripada oleh kawula pribumi yang berasal dari rezim yang lama, yang mudah-mudahan segera lenyap.” (Nederland en de Islam, hlm. 94)

Snouck memang telah meninggal pada 1936. Namun, semangat dan pemikirannya meninggalkan pengaruh besar di Indonesia. Ia telah memperlebar akses sekulerisasi dan Kristenisasi. Hingga kini, kedua hal ini menjadi tantangan dakwah terbesar umat Islam Indonesia. Wallahu a‘lam.[mzf]




Penulis: Muhammad Isa AnshoriPeneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)

Jawaban Bagi Orang yang Mengangap Bid'ah sebagai perbuatan baik, seperti maulid Nabi


 
 
JAWABAN BAGI ORANG YANG MENGANGGAP BID'AH SEBAGAI PERBUATAN BAIK SEPERTI MERAYAKAN MAULID NABI
 
Mohon diperhatikan masalah ini. Terjadi perdebatan antara mereka yang mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi merupakan bid'ah dengan mereka yang mengatakan bahwa perkara tersebut adalah bid'ah. 
 
Mereka yang mengatakan bahwa merayakan maulid nabi adalah bid'ah, beralasan bahwa hal tersebut tidak terlaksana pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan pada masa shahabat atau salah seorang tabi'in. Sedangkan kelompok lain menjawab dengan berkata, 'Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in. 
 
Misalnya, sekarang kita mengenal apa yang dikenal 'Ilmu Ar-Rijal' dan ' Al-Jarh wa Ta'dil (ilmu untuk mengenal kapasitas seorang perawi dalam ilmu hadits) dan lainnya. Tidak ada seorang pun yang mengingkari hal tersebut. Oleh karena itu, prinsip dalam pengingkaran masalah ini adalah apabila perkara bid'ah tersebut telah bertentangan dengan pokok (agama). 
 
Adapun merayakan maulid, pokok agama mana yang telah dilanggar? Dan masih banyak lagi perbedaan pandangan seputar masalah ini. Merekapun beralasan bahwa Ibnu Katsir rahimahullah menyetujui pelaksanaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Apa hukum yang lebih kuat dalam masalah ini berdasarkan dalil?

Alhamdulillah

Pertama,

Hendaknya diketahui bahwa para ulama berbeda pendapat tentang tanggal persisnya kelahiran Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdasarkan beberapa pendapat. Ibnu Abdul Bar rahimahullah berpendapat bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam dilahirkan pada tanggal 2 bulan Rabi'ul Awal. 
 
Ibnu Hazm rahimahullah menguatkan pendapat bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 8 Rabiul Awal. Ada pula yang berpendapat tanggal 10 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Abu Ja'far Al-Baqir. Ada pula yang berpendapat tanggal 12 Rabiul Awal, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ishaq. Adapula yang berpendapat bahwa beliau dilahirkan pada bulan Ramadan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Abdul Bar dari Zubair bin Bakar.

Lihat As-Sirah An-Nabawiah, Ibnu Katsir, hal. 199-200.

Pendapat-pendapat ini cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa orang-orang yang mencintai Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada masa lalu tidak memastikan hari tertentu sebagai hari kelahirannya, apalagi untuk merayakannya. Telah berlalu sekian abad kaum muslimin tidak melakukan perayaan hari kelahiran beliau, hingga akhirnya kaum Fathimiah mengada-adakannya.

Syekh Ali Mahfuz rahimahullah berkata,

"(Perayaan maulid) pertama kali diadakan di Kairo, yaitu pada masa dinasti Fathimiah, abad ke 4. Ketika itu mereka mengada-adakan empat perayaan kelahiran (maulid); Maulid Nabi, Maulid Imam Ali radhiallahu anhu, Maulid Fatimah Az-Zahra' radhiallahu anha, Maulid Hasan dan Husain radhiallahu anhuma dan maulid Khalifah saat itu. Perayaan tersebut terus dilaksanakan hingga dihilangkan oleh Al-Afdhal, pemimpin tentara. Kemudian diadakan kembali pada masa khalifah Al-Amir bi Ahkamillah, pada tahun 524 H setelah nyaris dilupakan orang. Sedangkan yang pertama kali mengadakan maulid di wilaya Arbil adalah Raja Muzaffar Abu Sa'id pada abad ketujuh dan terus diadakan hingga hari ini. Bahkan orang-orang mengembangkannya dan melakukan bid'ah sesuka hati mereka dengan bisikan setan manusia dan jin."

Al-Ibda' Fi Madhari Al-Ibtida', hal. 251

Adapun pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang merayakan maulid nabi, ''Siapa bilang bahwa semua yang kita lakukan sekarang harus terdapat pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau pada masa shahabat dan tabi'in' Hal itu menunjukkan bahwa mereka belum paham makna bid'ah yang telah diperingatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam banyak hadits.

Dalam masalah ibadah, tidak dibenarkan seseorang bertaqarrub (beribadah) kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada kita. Kesimpulan inilah yang dapat kita ambil dari larangan beliau tentang bid'ah. Maka bid'ah adalah beribadah kepada Allah Ta'ala dengan sesuatu yang tidak dia ajarkan. Karena itu, ulama kalangan mazhab Hanafi radhiallahu anhu berkata,

'Semua ibadah yang tidak dilakukan para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, hendaklah jangan kalian beribadah dengannya.'

Ungkapan senada juga dinyatakan oleh Imam Malik rahimahullah,

'Apa yang pada hari itu bukan bagian dari agama, maka pada hari inipun bukan bagian dari agama.'

Maksudnya adalah sesuatu yang tidak dianggap agama pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan tidak dijadikan sebagai ibadah kepada Allah, maka hal tersebut tidak dianggap agama setelah itu.

Adapun contoh yang disebutkan penanya, yaitu ilmu jarh wa ta'dil, yang dinyatakan sebagai bid'ah yang tidak tercela. Kesimpulan ini dipakai oleh mereka yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (bid'ah yang baik) dan bid'ah sayyi'ah (bid'ah yang buruk). Lalu mereka tambahkan pembagian bid'ah dalam hukum taklifi yang lima (wajib, sunah, mubah, haram, makruh). Pembagian ini dinyatakan oleh Al-Izz bin Abdussalam rahimahullah, kemudian diikuti muridnya, Al-Qarafi.

Asy-Syatibi telah membantah Al-Qarafi atas persetujuannya terhadap pembagian tersebut, dia berkata,

'Pembagian ini merupakan perkara baru, tidak ada landasannya dari dalil syar'i, bahkan pembagian itu sendiri bertolak belakang. Karena hakikat bid'ah adalah sesuatu yang tidak dilandasi dalil syar'i, baik dari teks syar'i, maupun dari prinsip-prinsip. Sebab, jika ada dalil dari syariat yang menunjukkan wajib, sunah atau mubah, maka hal tersebut tidak dapat disebut bid'ah, dan amalnya dapat digolongkan sebagai amal yang diperintahkan secara umum atau dipilih. Maka menjadikan satu masalah sebagai bid'ah sementara dalil-dalil yang ada menunjukkan wajib, atau sunnah atau mubah, merupakan kesimpulan yang bertolak belakang.

Adapun perkara makruh dan haram dapat diterima sebagai bid'ah dari satu sisi, tapi tidak dari sisi lain. Karena, seandainya ada dalil yang melarang suatu perkara, atau memakruhkannya, maka hal tersebut tidak tepat dikatakan bid'ah, tapi lebih tepat disebut maksiat, seperti pembunuhan atau pencurian, minum khamar dan semacamnya. Maka tidak ada bid'ah yang dapat digambarkan dalam pembagian tersebut selain pembagian haram dan makruh sebagaimana telah disebutkan dalam babnya.

Apa yang dinyatakan Al-Qarafi tentang disepakatinya penolakan terhadap bid'ah adalah benar. Akan tetapi pembagian yang dia lakukan tidak benar. Uniknya, pengakuan adanya kesepakatan terebut dibenturkan dengan sesuatu yang berlawanan, padahal dia tahu perkara-perkara yang dapat merusak ijmak. Sepertinya dia mengikuti gurunya dalam masalah pembagian ini, yaitu Ibnu Abdussalam, tanpa memperhatikan lagi.

Kemudian dia, Asy-Syatibi, menyebutkan dipahaminya kekeliruan Al-Izz bin Abdusssalam rahimahullah dalam masalah pembagian ini, dan bahwa dia menyebutkannya sebagai Al-Mashalih Al-Mursalah sebagai bid'ah. Lalu dia berkata, 'Adapun Al-Qarafi, tidak dapat diterima kekeliruannya yang mengutip pembagian bid'ah tersebut tidak sesuai yang dimaksud oleh gurunya, juga tidak sesuai dengan yang dimaksud orang lain. Karena dia telah berbeda pendapat dengan semua pihak dalam pembagian ini. Maka itu artinya bahwa pandangannya bertentangan dengan ijmak."

Al-I'tisham, hal. 152-153. Kami nasehatkan untuk merujuk kepada kitab tersebut. Sebagian beliau telah membantah dengan sangat baik dan sangat bermanfaat.

Al-Izz bin Abdussalam telah memberikan contoh bid'ah yang wajib dalam pembagiannya. Dia berkata,

Contoh pertama, "Bid'ah yang wajib memiliki beberapa contoh, di antaranya, 'Menyibukkan diri dengan ilmu nahwu (gramatika bahasa Arab) untuk memahami Kalamullah (Al-Quran) dan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ini adalah kewajiban, karena memelihara syariah adalah kewajiban, dan hal tersebut tidak akan terealisir kecuali dengan mengetahuinya. Sebuah kewajiban yang tidak terlaksana dengan sempurna kecuali dengan suatu perkara, maka perkara itu menjadi wajib.'

Contoh kedua, 'Menjaga kosa kata yang sulit dalam Al-Quran dan Sunnah.'

Contoh ketiga, 'Membukukan Ushul Fiqih.

Contoh keempat, 'Membincangkan Al-Jarh Wat-Ta'dil (ilmu untuk membedakan mana perawi yang dapat diterima dan mana yang tidak) untuk membedakan hadits shahih dan hadits lemah.

Kaidah dalam syariat telah menunjukkan bahwa memelihara syariat merupakan fardhu kifayah apabila telah melampaui batasan fardhu ain. Memelihara syariah tidak dapat terlaksana kecuali dengan apa yang telah kami sebutkan."

Qawa'idul Ahlam Fi Mashalih Al-Anam, 2/173.


Asy-Syatibih juga telah membantah perkataannya dengan berkata, 
Adapun apa yang dikatakan oleh Izzuddin, maka telah dibicarakan sebelumnya. Contoh-contoh tentang perkara wajib yang dikemukakan, berdasarkan bahwa sebuah kewajiban tidak dapat diwujudkan kecuali dengan perkara tersebut, seperti yang dia katakan, tidak disyaratkan terlaksana di kalangan salaf, juga tidak disyaratkan memiliki landasan khusus dalam syariat, karen hal itu termasuk dalam bab 'Al-Mashalih Al-Mursalah', bukan bid'ah."

Al-I'tisham, hal. 157-158.

Kesimpulan dari bantahannya adalah bahwa ilmu-ilmu ini tidak pantas jika dikatagorikan sebagai bid'ah syar'iah yang tercela. Karena kebenarannya dikuatkan oleh nash-nash yang umum dan kaidah syariah yang umum yang memerintahkan untuk memelihara agama dan sunah serta perintah untuk menyampaikan ilmu syariah dan nash-nash syar'I (Al-Quran dan Sunnah) kepada manusia dengan cara yang benar.

Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,

"Bi'dah menurut defenisi syariat adalah tercela, berbeda menurut definisi bahasa. Karena semua perkara yang diada-adakan tanpa contoh sebelumnya (menurut bahasa) adalah bid'ah, apakah yang terpuji atau tercela."

Fathul Bari, 13/253.

Dia juga berkata,

"Bid'ah adalah segala sesuatu yang tidak memiliki contoh sebelumnya. Maka dari segi bahasa bid'ah dapat mencakup perkara yang terpuji dan tercela. Sedangkan menurut pemahaman syariah bid'ah khusus memiliki sifat tercela. Jadi kalau disebutkan dalam katagori terpuji, maka maksudnya adalah pemahaman bid'ah dari segi bahasa."

Fathul Bari, 13/340

Syekh Abdurrahman Al-Barrak ketika memberi penjelasan tentang hadits no. 7277 dalam bab Al-I'tisham bil Kitab was-Sunnah, pasal 2 dalam kitab Shahih Bukhari, beliau berkata,

"Pembagian ini benar jika bid'ah dipahami secara bahasa. Adapun bid'ah menurut syariat, semuanya adalah sesat. Sebagaimana hadits Rasululllah shallallahu alaihi wa sallam 'Seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah adalah sesat." Dengan kaidah yang umum ini, maka tidak dibenarkan jika dikatakan, di antara bid'ah ada yang sifatnya wajib, sunah, mubah. Tapi yang namanya bid'ah dalam agama, apakah masuk dalam perkara haram atau makruh. Di antara perkara bid'ah yang dimakruhkan dan ada pula bahwa ini adalah perkara yang mubah, adalah mengkhususkan waktu Shubuh dan Ashar untuk saling berjabat tangan setelah shalat.."

Yang layak dipahami dan diperhatikan adalah hendaknya diperhatikan tersedianya semua sebab dan tidak adanya penghalang dalam suatu perbuatan pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam serta para shahabatnya. Maka perayaan maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta kecintaan para shahabat terhadapnya merupakan dua sebab yang terdapat pada masa shahabat yang mulia untuk menjadikan hari maulid sebagai perayaan yang mereka rayakan. Tidak sesuatu yang mencegah mereka untuk melakukna hal itu. Maka ketika hal tersebut tidak dilakukan Nabi shallallahu alaihi wa sallam, juga para shahabatnya tidak ada satupun yang melakukannya, maka dapat disimpulkan bahwa perkara tersebut tidak disyariatkan. Sebab seandainya hal itu disyariatkan, niscaya mereka akan lebih dahulu dari kita untuk melakukannya."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,

"Demikian pula apa yang diada-adakan sebagian orang. Apakah hendak menyerupai kaum Nashrani dalam merayakan hari lahirnya Isa alaihissalam, atau karena kecintaannya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam serta penghormatannya kepadanya, maka boleh jadi Allah akan memberi mereka pahala atas kecintaan dan kesungguhannya, bukan atas perbuatan bid'ahnya, yaitu dengan cara menjadikan hari kelahiran Nabi sebagai perayaan dengan perbedaan yang ada di antara mereka. 
 
Sesungguhnya hal ini tidak terdapat di kalangan salaf, padahal sebabnya ada, dan penghalangnya tidak ada. Jika perkara itu murni sebuah kebaikan, atau lebih besar kemungkinan benarnya, niscaya kalangan salaf lebih layak melakukannya ketimbang kita. 
 
Karena mereka adalah orang-orang yang lebih mencintai dan memuliakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam daripada kita, dan mereka adalah orang yang sangat gemar pada amal kebaikan. Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengormatan kepadanya terwujud dengan mengikuti jejaknya, taat kepadanya, mengikuti petunjuknya, menghidupkan sunahnya lahir batin seta menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu, baik dengan hati, tangah dan lisan. Ini merupakan petunjuk generasi awal dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik."

Iqtidha Ash-Shiratal Mustaqim, hal. 294-295.  

Ini adalah ucapan yang tepat, menjelaskan bahwa cinta kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terwujud dalam bentuk mencintai sunahnya, mengajarkannya dan menyebarkannya di antara manusia serta membelanya. Inilah jalan yang ditempuh para shahabat radhiallahu anhum.

Adapun orang-orang yang datang belakangan, mereka menipu diri mereka sendiri, dan mereka ditipu oleh setan dengan perayaan-perayaan tersebut dengan pandangan bahwa semua itu sebagai ekspresi kecintaan mereka terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sementara mereka jauh dari tindakan untuk menghidupkan sunah, mengikutinya, mendakwahkannya, mengajarkannya dan membelanya.

Ketika.

Adapun bantahan orang tersebut yang berdalil dengan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah, bahwa dia membolehkan pelaksanaan maulid Nabi, hendaknya dia menyebutkan kepada kami dimana dia dapatkan ucapan Ibnu Katsir seperti itu. Karena kami tidak mendapatkan ucapan Ibnu Katsir rahimahullah seperti itu. Kami yakin Ibnu Katsir jauh dari tindakan membela dan mengajarkan bid'ah seperti itu.


Wallahua'lam.

revival of Islamic faith foundation

Sejarah

 

© Copyright revival of Islamic faith foundation 2012 | Design by Atmadeeva Keiza | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.