Bismillah…
Mereka meng-klaim adalah yang dimaksud ghuroba, yang asing dalam hadits berikut
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar
semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan
kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari
Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam
keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim
208)
Ghuroba, yang asing dalam hadits tersebut bukanlah mereka. Mereka
adalah yang asing ditengah kaum muslim yang sholeh. Mereka adalah yang
mengasingkan atau menyempal atau keluar (kharaja) dari pemahaman kaum
muslim sehingga melahirkan sekte atau firqoh bernama Wahabi. Mereka
termasuk kaum khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari
kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Ulama madzhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang populer
dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd
al-Muhtar sebagai berikut: “Keterangan tentang pengikut Muhammad bin
Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada
masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan
berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti madzhab
Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahwa mereka saja kaum Muslimin,
sedangkan orang yang berbeda dengan keyakinan mereka adalah orang-orang
musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlussunnah dan
para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merusak
negeri mereka dan dikuasai oleh tentara kaum Muslimin pada tahun 1233
H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4,
hal. 262).
Ulama madzhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi
al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pendiri
Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut:
“Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, yaitu mereka yang
mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka
menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang
terjadi dewasa ini pada golongan mereka, yaitu kelompok di negeri Hijaz
yang disebut dengan aliran Wahhabiyah, mereka menyangka bahwa mereka
akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah orang-orang
pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabarkan bahwa Islam
pada akhirnya akan asing pula sebagaimana pada awalnya karena pada
umumnya kaum muslim walaupun mereka banyak dan menjalankan perkara
syariat namun mereka gagal mencapai maqom disisiNya, mereka gagal
menjadi muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang sholeh, muslim yang
ihsan atau muslim yang bermakrifat , muslim yang menyaksikan Allah
ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika
manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang
buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada
mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti
pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”.
Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”.
Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”.
[HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Islam pada awalnya datang dengan asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) .
Tujuan beragama adalah untuk menjadikan manusia yang berakhlakul karimah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad)
Beruntunglah orang orang yang asing yakni orang yang sholeh diantara
orang yang rusak / buruk maknanya semakin akhir zaman maka semakin
sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh,
muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan
Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan
menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia
yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak
keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat)
tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai
ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan
perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih
sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim
yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya)
,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i,
hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada
putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada
hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya
kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai
anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran
tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa
Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Rasulullah bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah
engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab:
“Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda
melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang,
tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”
Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.
Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Muslim yang yakin selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa
Jalla atau yang terbaik muslim yang bermakrifat (melihat Allah dengan
hati) maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang
dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji
dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah
Muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh)
adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat
kepadaNya.
Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang
hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat,
sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan
menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat
ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid
(penyaksi)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar