Revival Of Islamic Faith Foundation
News Update :

Wahyu Dan Akal

7 September 2011






Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti beliau hingga akhir zaman.
Akal dan wahyu sama-sama merupakan karunia Allah. Akal dan wahyu bagaikan “saudara sesusuan” (ukht al-radi’ah) yang bisa dibedakan tapi tidak mungkin dipisahkan. Akal memerlukan wahyu karena ada sesuatu di dunia ini, khususnya yang berkaitan dengan alam gaib (metafisika), yang tak bisa dicapai akal. Sementara wahyu juga memerlukan akal karena tanpa akal, wahyu tak bisa dipahami.
Akal
Kata akal berasal dari bahasa Arab al-‘aql, al-‘aql adalah berasal dari kata ‘aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro “ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang). Pengertian lain dari akal adalah daya pikir (untuk memahami sesuatu), kemampuan melihat cara memahami lingkungan, atau merupakan kata lain dari pikiran dan ingatan.
QS.Al-Haj ayat 46
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِى ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٌ۬ يَعۡقِلُونَ بِہَآ أَوۡ ءَاذَانٌ۬ يَسۡمَعُونَ بِہَا‌ۖ فَإِنَّہَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَـٰرُ وَلَـٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِى فِى ٱلصُّدُورِ
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.

QS. Al-Baqarah ayat 242
كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَڪُمۡ ءَايَـٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُ
“Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya [hukum-hukum-Nya] supaya kamu memahaminya”

Fungsi dari akal yang paling besar yaitu ntuk mengetahui hakikat dari kebenaran. Kebenaran sendiri tidak akan dapat tercapai jika hanya menggunakan akal tapi juga harus berpegang teguh pada ajaran yang telah diturunkan oleh Allah swt.

Ajaran Agama Islam memberikan kedudukan yang mulia terhadap akal, Allah menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Islam menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. Allah mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 90:
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَـٰمُ رِجۡسٌ۬ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَـٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ                                                                                              لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya [meminum] khamar, berjudi, [berkorban untuk] berhala, mengundi nasib dengan panah [1], adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. 

Urgensi Akal dalam Syari’at Islam
Syari’at Islam memberikan nilai dan urgensi yang amat tinggi terhadap akal manusia. Hal itu dapat dilihat pada beberapa point berikut ini.

[Pertama] Allah hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang yang berakal karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya.
وَذِكْرَى لأولِي الألْبَابِ
Dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” (QS. Shaad: 43)

[Kedua] Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban syari’at) dari Allah Ta’ala. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi orang yang tidak menerima taklif seperti pada orang gila yang tidak memiliki akal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ
Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: [1] orang yang tidur sampai dia bangun, [2] anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan [3] orang gila sampai ia kembali sadar (berakal).” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

[Ketiga] Allah Ta’ala mencela orang yang tidak menggunakan akalnya, semisal perkataan Allah pada penduduk neraka yang tidak mau menggunakan akal.

[Keempat] Penyebutan begitu banyak proses dan anjuran berfikir dalam Al Qur’an, yaitu untuk tadabbur dan tafakkur, seperti la’allakum tatafakkarun (mudah-mudahan kamu berfikir) atau afalaa ta’qilun (apakah kamu tidak berpikir).
Begitu pula Allah memuji ulul albab (orang-orang yang berakal/berfikir),
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي الألْبَابِ   الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191)

Akal Tidak Bisa Berdiri Sendiri
Walaupun akal bisa digunakan untuk merenungi dan memahami Al Qur’an, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Bahkan akal sangat membutuhkan dalil syar’i (Al Qur’an dan Hadits) sebagai penerang jalan. Akal itu ibarat mata. Mata memang memiliki potensi untuk melihat suatu benda. Namun tanpa adanya cahaya, mata tidak dapat melihat apa-apa. Apabila ada cahaya, barulah mata bisa melihat benda dengan jelas.

Jadi itulah akal. Akal barulah bisa berfungsi jika ada cahaya Al Qur’an dan As Sunnah atau dalil syar’i. Jika tidak ada cahaya wahyu, akal sangatlah mustahil melihat dan mengetahui sesuatu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan,
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri. Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.” (Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339)
Intinya, akal bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya.


Wahyu
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang memiliki beberapa arti seperti kecepatan dan bisikan. Wahyu adalah nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cara cepat dari Allah ke dalam dada nabi-nabi-Nya. Wahyu adalah sesuatu yang dimanifestasikan, diungkapkan. Ia adalah pencerahan, sebuah bukti atas realitas dan penegasan atas kebenaran. Setiap gagasan yang di dalamnya ditemukan kebenaran ilahi adalah wahyu, karena ia memperkaya pengetahuan sebagai petunjuk bagi manusia.
Allah sendiri telah memberikan gambaran yang jelas mengenai wahyu ialah seperti yang digambarkan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 16 yaitu:

هۡدِى بِهِ ٱللَّهُ مَنِ ٱتَّبَعَ رِضۡوَٲنَهُ ۥ سُبُلَ ٱلسَّلَـٰمِ وَيُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِهِۦ وَيَهۡدِيهِمۡ إِلَىٰ صِرَٲطٍ۬                                                                                                                مُّسۡتَقِيمٍ۬
“Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus”

  1.   KEDUDUKAN WAHYU DAN AKAL DALAM PEMIKIRAN KEISLAMAN

Dalam perkembangan Islam akal memiliki peranan penting dalam segala bidang termasuk dalam bidang agama. Dalam membahas masalah-masalah agama para ulama tidak hanya bergantung pada wahyu semata tetapi banyak juga yang menggunakan pendapat atau pemikiran-pemikiran dari ulama lain.
Peranan akal dalam masalah-masalah keagamaan dijumpai dalam bidang fikih, teologi, dan fikih dan tafsir.
  1. Fikih
Untuk memahami dan mengerti sesuatu diperlukan akal. Fikih berasal dari kata faqiha yang mengandung makna faham dan mengerti. Fikih merupakan ilmu yang membahas pemahaman dan tafsiran ayat-ayat Al-Quran yang berkenaan dengan hukum,yakni ayat-ayat ahkam. Untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat tersebut diperlukan al-ijtihad. Ijtihad mengandung arti usaha keras dalam melaksanakan pekerjaan berat dan dalam istilah hukum berarti usaha keras dalam bentuk pemikiran akal untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya. Ijtihad banyak dipakai dan penting kedudukannya dalam fikih. Dalam fikih juga dikenal istilah al-ra’y yang berarti pendapat atau opini. Al-ra’y disini dihubungkan dengan akal dan berarti memikirkan dan merenungkan. Selain itu ada juga istilah al-qias yang berarti mengukur sesuatu dengan ukuran tertentu dan dalam istilah fikih kata al-qias mengandung arti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada nas hukumnya dengan hukum sesuatu yang lain yang ada nas hukumnya atas dasar persamaan sebabnya. Untuk menentukan adanya persamaan itu diperlukan pemikiran.

  1. Ilmu Tahwid atau Teologi
Jika dalam ilmu fikih peranan akal dalam hukum islam yang dipermasalahkan, dalam ilmu tahwid permasalahannya meningkat menjadi akal dan wahyu. Perdebatan antar aliran-aliran teologi islam yang terjadi mempermasalahkan kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua permasalahan pokok dalam agama, yaitu adanya Tuhan serta kebaikan dan kejahatan.
Menurut kaum Mu’tazilah adanya Tuhan, kebaikan dan kejahatan dapat diketahui dengan akal.
Secara singkatnya berbicara akal dan wahyu dalam konsepsi keislaman di bagi menjadi dua perspektif
  1. Aliran mutakallimun yang akan menelorkan ilmu fiqih, sorof dan nahwu menganggap bahwa posisi wahyu menjadi bangunan utama, baik berbicara mengenai baik dan buruk, dosa dan pahala dll.
  2. Adapun para filosof yang akan melahirkan konsep mengenai ontologi, epistemologi dan fenomenologi menganggap bahwa peran akal menjadi basis utama dalam melihat sebuah fenomena yang terjadi.
Namun menurut al-kindi bahwa akal dan wahyu bersifat komplementer ataupun saling melengkapi. Dan juga pendapat ar-razi dalam memandang keberadaan akal dan wahyu.
QS. An-nahl ayat 12
وَسَخَّرَ لَڪُمُ ٱلَّيۡلَ وَٱلنَّهَارَ وَٱلشَّمۡسَ وَٱلۡقَمَرَ‌ۖ وَٱلنُّجُومُ مُسَخَّرَٲتُۢ بِأَمۡرِهِۦۤ‌ۗ إِنَّ فِى ذَٲلِكَ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡقِلُونَ
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan [untukmu] dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda [kekuasaan Allah] bagi kaum yang memahami [nya]

Dengan potensi akal, manusia dapat mencari kebenaran walaupun akal bukan satu-satunya sumber kebenaran. Kebenaran sebenarnya dapat dicapai melalui pendekatan ilmiah dan filosofis dan sebagai pemandu kebenaran tersebut di butuhkan wahyu, yang sebelumnya harus di percayai sebagai sumber kebeneran dari Tuhan. Antara akal dan wahyu yang merupakan sumber ilmu pengetahuan satu sama lainny berhubungan erat dan tidak mungkin terjadi antithesis.
Akal dengan kekuatannya mampu menguak ilmu pengetahuan yang rasional, sedangkan wahyu melengkapinya dengan objek yang tidak hanya rasional tetapi juga supra rasional. Dengan demikian, sumber ilmu pengetahuan yang di kembangkan dalam pendidikan Islam memiliki dua jalur, yaitu jalur wahyu ilahi dan jalur karya ilahi. Yang keduanya saling menjelaskan dan menafsirkan.
Kesimpulan
Akal adalah kemampuan untuk mengetahui sesuatu yang merupakan manifestasi internal dari keberadaan Nabi. Wahyu adalah firman Allah yang disampaikan kepada Nabi-Nya baik untuk dirinya sendiri maupun untuk disampaikan kepada umatnya. Pengetahuan adalah hubungan antara subjek dan objek, sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang telah teruji secara ilmiah dan kebenarannya jelas. Akal dan wahyu digunakan untuk mendapatkan pengetahuan bagi umat manusia.
Antara akal dan wahyu terdapat ruang dimana keduanya dapat bertemu dan bahkan saling berinteraksi dan terdapat pula ruang dimana keduanya harus berpisah. Pada saat wahyu merekomendasikan berkembangnya sain dan lestarinya budaya dengan memberikan ruang kebebasan akal agar berpikir secara dinamis, kreatif dan terbuka, di sanalah terdapat ruang bertemu antara akal dan wahyu.
Secara ontologis kebebasan berpikir sebagai kinerja akal tidak terikat dengan nilai, tetapi implikasi kebebasan berpikir itu secara aksiologis dibatasi dengan tanggungjawab dan moral. Hanya sebagaian filosof Barat seperti Galileo Galilie dan para pengikutnya yang membebaskan manusia mengembarakan akal pikirnya sebebas-bebasnya. Kebebasan itu tidak ada sangkut pautnya dengan nilai, sehingga mereka berpendapat bahwa ilmu sebagai produk kinerja akal adalah bebas nilai secara total.

Menurut filsafat Islam dimana dasar pijakannya adalah hikmah (fisafat) dan al-Qur’an, akal yang meretaskan budaya berpikir dalam implementasinya, sebagaimana dicontohkan oleh nabi, adalah tidak bebas nilai. Begitu pula ilmu sebagai produk kerja akal melalui proses berpikir tentu juga tidak bebas nilai. Di sinilah antara wahyu (moral agama) yang sarat nilai harus tidak boleh berpisah dengan akal. Secara etika ilmu harus dapat mensejahterakan kehidupan bukan sebaliknya. Oleh karenanya akal sebagai sarana menemukan kebenaran berhimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab agama.

Menurut Imam al-Ghazali, akal betapa pun hebatnya harus mau dikontrol oleh wahyu. Kebenaran yang dicapai oleh akal bersifat relatif-spikulatif, sedangkan kebenaran wahyu bersifat mutlak karena datangnya dari Yang Maha Benar dan Maha Mutlak.

Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 

© Copyright revival of Islamic faith foundation 2012 | Design by Atmadeeva Keiza | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.