Revival Of Islamic Faith Foundation
News Update :

Hijab Tempo Dulu

2 Maret 2016

Berikut adalah kumpulan foto yang menunjukkan betapa mengakarnya praktek hijab syar’i di tengah kaum muslimah di berbagai penjuru dunia, yang diambil dari buku “Samudera Hikmah di Balik Jilbab Muslimah", karya Sufyan bin Fuad Baswedan, M.A. yang diterbitkan oleh Pustaka Al-Inabah.

Mengenakan hijab yang sempurna-termasuk menutup wajah-adalah ajaran islam yang telah diamalkan turun temurun sejak belasan abad lalu di hampir seluruh dunia. Ia bukanlah budaya Arab atau ciri khas madzab dan golongan tertentu. Namun ia (hijab syar’i) merupakan ijma’ amali kaum muslimin di seluruh madzab.

Sebagaimana yang dapat dilihat dalam gambar-gamabr di album ini, kaum muslimat di Andalusia, Tunisia, Maroko, dan Libya adalah penganut madzab Maliki. Sedangkan mereka yang tinggal di Mesir dan Suriah separuhnya bermadzab Syafi’i, sedangkan warga Hadramaut dan Somalia bisa dikatakan 100% bermadzab Syafi’i. Adapun mereka yang tinggal di Kuwait dan Arab Saudi merupakan pengikut madzab Hambali. Sedangkan di Balkan, Turki, Kaukasus, India, Afghanistan, Pakistan dan Kasymir adalah pengikut madzab Hanafi. Ternyata mereka semua biasa mengenakan hijab yang menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah.



Salah satu kota di Andalusia yang masih kental dengan nuansa islami hingga abad 20 adalah Vejer de La Frontera. Kota ini oleh orang Arab dikenal dengan nama Qaryat al Basyir, yang kemudian diserap dalam bahasa Spanyol menjadi Vejer. Ia masuk ke pangkuan kaum muslimin sejak tahun711 M, setelah ditaklukkan oleh Thariq bin Ziyad yang menang melawan Duke Rodriguez.




Para wanita kota Vejer senantiasa menjaga pakaian islami mereka sejak saat itu. Mereka masih memendam rasa malu yang tinggi, yang nyaris sirna saat ini. Mereka menjadi saksi akan kuatnya pengaruh peradaban Arab-Islami bagi warga Andalusia. Demikianlah tradisi wanita-wanita Andalusia sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Abu Hayyan Al-Andalusi dalam kitabnya: Al-Bahrul Muhieth.

Ajaibnya, tradisi berpakaian seperti ini tetap eksis hingga sekitar tahun 1960 M, saat dimana larangan berpakaian islami mulai diberlakukan. Akan tetaapi ia kembali muncul pada era 70-an. Yang lebih ajaib lagi, orang-orang Spanyol sendiri mengakui kemuliaan pakaian tersebut, dan bahwasanya ia menandakan akhlak luhur pemakainya. Karenanya, tak heran jika mereka membuat patung wanita berhijab di Vejer, untuk mengabadikan sosok muslimah yang mulia.

Sumber: http://objetivocadiz.lavozdigital.es/fotos-manuel-septiem-diez/anscentral-343593.html


‘Abdul ‘Aziz al-Azhamah (1856-1943), adalah salah satu sejarawan Syam yang menyaksikan negaranya antara sebelum dan ketika penjajahan Perancis. Dalam bukunya yang terkenal (مرآة الشام), beliau mencatat berbagai perubahan yang dialami masyarakat akibat penjajahan Nasrani tersebut. Salah satu catatn yang penting bagi kita adalah sebagai berikut (hal 74):
“Konon, tiap kali para wanita keluar dari rumahnya, mereka mengenakan sarung putih yang terjulur hingga telapak kaki. Mereka juga senantiasa menutup wajahnya dengan burka (sapu tangan) berwarna, yang tidak memmperlihatkan sesuatupun dari baliknya. Sosok mereka penuh dengan wibawa dan sopan santun. Tidak ada seorang pun yang berani mendekati mereka, walaupun dari kerabat sendiri. Sebab berbicara dengan lawan jenis di pasar konon dianggap aib”

(Dinukil dari artikel tulisan Syaikh Sulaiman bin Shalih al-Kharasyi, yang berjudul : 
(بدايات السفور في العالم الإسلامي (٥): سوريا), dari kolom beliau : http://www.saaid.net/Warathah/Alkharashy/m/42.htm)





Ini adalah foto-foto klasik yang menunjukkan bagaimana kebiasaan berpakaian muslimat Balkan. Semenanjung Balkan adalah sebuah daerah Eropa Tenggara yang luasnya mencapai 550.000 km2. Ia meliputi sejumlah negara seperti: Albania, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Yugoslavia, Kroasia, Serbia, Hongaria, Macedonia, Kosovo, dan sebagian Turki. Mayoritas negara Balkan tadi termasuk bagian dari Daulah ‘Utsmaniyyah sejak abad 16 M, hingga masa-masa perang dunia I.







Sebagaimana wilayah Eropa lainnya yang tepengaruh ajaran Islam, wanita Turki juga memakai hijab yang sempurna saat di luar rumah. Gambar sebelah kiri adalah foto empat orang wanita dengan hijab syar’inya di kota Adana, Turki, yang diambil pada bulan April 1909.

Gambar sebelah kanan adalah foto dua orang wanita Turki, salah satunya mengenakan hijab syar’i. Catatan pada foto ini menyebutkan bahwa hijab yang menyeluruh tetap menjadi pakaian asli wanita Turki, sampai ia dilarang oleh si antek yahudi: Mustapha Kamal Ataturk, lewat aturan-aturan pertama yang dibuatnya begitu ia merebut tampuk kekuasaan. 




Dahulu, Uzbekistan adalah negeri muslim bersejarah yang berperadaban tinggi. Ia merupakan ngeri berpenduduk terbanyak di Asia Tengah (Turkistan). Sejumlah propinsinya cukup populer dalam sejarah islam, seperti Bukhara, Samarkand, Tashkand, dan Khawarizim. Propinsi-propinsi tadi telah menyumbangkan tokoh-tokoh khazanah dalam keilmuan islam. Sebuat saja Imam Bukhari, Imam Tirmidzi, Imam Nasa’i, al-Khawarizmi, al-Biruni, az-Zamakhsyari dan banyak lagi tokoh lainnya. Konon, wanita-wanita disana menggunakan sejnis hijab yang dikenakan dengan nama “Branji”, yang menutup seluruh tubuh dari atas sampai bawah.





Dahulu, Tunisia tak berbeda dengan negeri Islam lainnya. Kaum wanitanya taat menggunakan hijab syar’i. Mereka senantiasa menutup wajah dari laki-laki ajnabi , sampai pada masa jatuhnya negeri mereka ke tangan penjajah.


Kondisi wanita Lebanon –sebelum jatuh ke tangan penjajah Barat- tak jauh beda dengan wanita Arab lainnya yang akrab dengan hijab di luar rumah. Anda mungkin akan heran jika wanita Lebanon tempo dulu biasa menutup wajahnya dengan niqab. Bahkan Anda lebih heran lagi saat mengetahui bahwa kebiasaan ini juga berlaku bagi wanita nasrani di sana.

Seorang doktor Nasrani bernama Phillip Hitti dalam bukunya, Tarikh Lubnan (hal.516-518) menceritakan keadaan kota Beirut sebagai berikut:
“Selama 10 tahun sejak Mesir menduduki Suriah, pengaruh Barat semakin merasuk ke pedalaman Lebanon. Beirut pun menjadi pelabuhan utama, dan tetap demikian kondisinya sampai haari ini...”. Phillip melanjutkan, “Saat itu bukanlah pemandangan yang biasa bila ada seorang lelaki yang mengapit lengan wanita dengan ketiaknya di luar rumah. Jarang sekali terlihat orang-orang Eropa mengenakan pakaian ala Barat di jalan-jalan. Kalaupun ada wanita Barat-istri Dubes atau pengusaha- yang nekad keluyuran dari satu rumah ke rumah lainnya , pastilah akan menarik perhatian masyarakat. Tidak ada satu kota pun di Lebanon yang bisa menyaingi Beirut. Tripoli hanyalah kota kecil yang dihuni oleh 7 ribu jiwa. Sedangkan kota Saida telah kehilangan daya tarik dan keanggunannya. Adapun kota Sur tengah terlelap dalam tidur nyenyaknya sejak abad pertengahan. Di kota-kota tersebut, wanita Nasrani senantiasa menutup wajahnya dengan hijab, sebagaimana wanita muslimah”


Sekitar 30-40 tahun silam, bisa dikatakan bahwa seluruh wanita Kuwait tidak mengenal apa yang namanya ‘menyingkap wajah’. Mereka senantiasa taat mengenakan hijab syra’i termasuk niqab.

Dalam buku (الكويت زهرة الخليج العربي) hal 162-163, seorang tokoh Irak bernama Mahmud Bahjat Sinan, menulis kenangannya tentang Kuwait sebagai berikut:
“Wanita Kuwait hingga beberapa tahun silam, senantiasa mengenakan jilbab ketika keluar rumah. Jilbab itu berupa kain atasan yang sangat panjang dan ekornya terjulur ke tanah hingga satu meter. Hal itu demi memastikan bahwa kaki mereka tertutup saat berjalan, sebab mayoritas mereka lebih suka berjalan tanpa alas kaki, dan jarang menggunakan sandal atau teklek. Mereka juga senantiasa menutup wajahnya dengan cadar tebal yang memiliki dua celah kecil di bagian mata. Salah satu keistimewaan wanita kuwait adalah mereka demikian fanatik terhadap aturan agama, dan tidak mengenal tabarruj sama sekali...”

Lawrence Dionna adalah wartawati Swiss yang mengunjungi Kuwait tahun 1968, dan menulis kesan-kesannya dalam buku (المرأة في الكويت بين الحصير والمقعد الوٕثير ). Dalam hal 22, ia mengatakan, “Tiga puluh tahun lalu, semua wanita Kuwait selalu mengenakan niqab dan abaya. Sedangkan kerudung hitam tipis yang dikenal dengan istilah “busyiah”, mereka sisipkan dibalik niqab. Kebiasaan gadis-gadis kota menutup wajahnya masih berlaku di tengah keluarga-keluarga yang agamis”.

(Dinukil dari artikel tulisan Syaikh Sulaiman bin Shalih al-Kharasyi, yang berjudul : 
(الكويت: دايات السفور في العالم الإسلامي (٦), dari kolom beliau : http://www.saaid.net/Warathah/Alkharashy/m/72.htm)


Dalam artikel berjudul “Veiled Ladies in Syria (1854)”, penulisnya (pria Eropa non muslim) mengatakan sebagai berikut:
“There is another great difference between the general appearance in London and Damascus-viz., in the Eastern city, you see not the bright, joyous contenance of woman; she is deeply veiled. In Egypt she is enveloped from head to foot in a dark, and in Syria in a white sheet, which effectually obliterates all traces of shape, absolutely equalizes to the eye all ranks, age, and condotions, and suggest to the beholder the idea of a company of ghosts. During five years in the East, I never saw the face of a woman on the streets, nor did I ever see the face of a Mahommedan lady at all! I walked into the house of a Moslem on one occasion without having signified my approach, when the ladies, being unveiled, raised such shouts of terror ang indignations that I speedily made my way to the street again...”

(Artikel ini dipublikasikan oleh the New York Observer and Chronicle, [ http://blogs.commons.georgetown.edu/cs525-671project/long-long-history-of-veils/women-and-the-veil/veiled-ladies-in-syria-1854/]



Dalam buku (المجتمع المغربي كما عرفته خلال خمسين سنة، من عام ١٣٥٠-١٤٠٠ ه)
Prof. Muhammad bin Ahmad Asymagho menceritakan tentang strata masyarakat Maroko, mulai dari papan atas, menengah hingga fakir miskin. Kata beliau (hal 23), “Mengingat bahwa kaum wanita-dari ketiga strata tadi- senantiasa berhijab, dan tidak ada yang menampakkan dirinya di depan umum, baik yang cantik, biasa-biasa maupun yang buruk rupa; maka biasanya sang suami bersyukur kepada Allah atas pemberian ini. Ia akan memandang istrinya sebagai ratu walaupun dirinya telah mengenal seluk beluk kehidupan dunia seluruhnya, baik yang nampak maupun tersembunyi. Hal itu karena sang istri memiliki keistimewaan sebagai ‘rumah yang aman’ dan ‘teman perjalanan’ dalam mengarungi kehidupan. Istri juga berperan sebagai pembantu setia dalam menghadapi setumpuk kewajiban rumah tangga. Ia juga cukup sabar saat menghadapi kondisi yang sulit. Sehingga dengan demikian , sosok istri tadi tampak demikian berharga di mata para suami yang mulia.” (Dinukil dari artikel tulisan Syaikh Sulaiman bin Shalih al-Kharasyi, yang berjudul : 
(بدايات السفور في العالم الإسلامي (٥): المغرب), dari kolom beliau 


Kesabaran dan keuletan wanita Hadramaut memang mengagumkan. meski negeri mereka tergolong amat minim fasilitas, terbelakang dalam iptek, dan kering kerontang; mereka tetap memegang erat ajaran islam yang satu ini. Baik saat berada di sekolah, bekerja di ladang, maupun ketika menggembala ternak, hijab tak pernak mereka tinggalkan.

Dalam gambar ini mereka yang bekerja di ladang atau menggembala sengaja mengenakan topi anyaman berbentuk kerucut yang tingginya bisa mencapai setengah meter. Udara yang masuk lewat celah-celah anyaman tadi dapat memberi sedikit kesejukan bagi kepala pemakainya, saat dirinya berada di bawah terik matahari yang kadang mencapai 50 derajat celcius!


Share this Article on :

0 comments:

Posting Komentar

 

© Copyright revival of Islamic faith foundation 2012 | Design by Atmadeeva Keiza | Published by Borneo Templates | Modified by Blogger Tutorials.